Restu Orangtua: Antara Syarat dan Ego
Jika kita kaitkan dengan pernyataan Soimah, sikap ketus seorang calon mertua bisa jadi lahir dari keinginan menjaga anaknya dengan cara yang keras.Â
Mungkin ia sedang menekankan Din, Dan, atau bahkan Dun, sesuai pandangan pribadinya. Tapi, tak jarang sikap ketus malah terasa lebih sebagai ujian ego daripada wujud kasih sayang.
Di sinilah dilema muncul: apakah restu orangtua mutlak, ataukah anak berhak mengambil keputusan meski tanpa restu penuh?Â
Dalam masyarakat kita, restu sering diposisikan sebagai syarat sakral. Tapi pada praktiknya banyak pasangan bertahan, bahkan bahagia meski awalnya tanpa restu.
Relevansi Dan, Din, Dun di Era Modern
Sejatinya, nilai-nilai seperti saling menghargai, berbagi peran, dan tumbuh bersama sebenarnya sudah lama tercakup dalam kearifan lokal Dan, Din, Dun, terutama pada aspek Din.Â
Ia tidak hanya menyoal ritual keagamaan, tetapi juga keluhuran budi, tanggung jawab, dan sikap menghormati pasangan. Jadi, meski kini kita hidup di era kesetaraan gender dan inklusivitas, nilai-nilai itu sebenarnya bukan hal baru, melainkan warisan yang sudah lama ditanamkan oleh leluhur.
Jadi kalau kita tafsir ulang Dan, Din, Dun adalah:
- Dan bukan lagi sekadar fisik, tetapi juga cara membawa diri, sopan santun, dan menghargai pasangan.
Misalnya, seseorang mungkin tidak selalu tampil modis, tapi ia tahu bagaimana bersikap sopan di hadapan orang tua pasangannya dan menghargai waktu bersama.