Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gempa Mengguncang, Air pun Jadi Rebutan: Belajar dari Toren di Halaman

23 Agustus 2025   06:15 Diperbarui: 23 Agustus 2025   06:15 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari keran sederhana di luar pagar, tetangga menemukan harapan saat air PAM tak mengalir. (Sumber: Dokumen Pribadi)

Pendahuluan

Ketika gempa Bekasi hari Rabu malam/ 20 Agustus 2025 mengguncang jagat pemberitaan, banyak orang langsung cemas soal potensi kerusakan bangunan dan keamanan transportasi. Bahkan perjalanan kereta cepat Whoosh sempat dibatalkan demi alasan keselamatan. 

Tak berhenti di sana, muncul pula isu yang membuat bulu kuduk merinding: bagaimana jika bendungan raksasa seperti Jatiluhur di Purwakarta ikut terdampak? Bayangkan saja, air dalam skala raksasa bisa menjadi ancaman bagi jutaan orang di Jawa Barat hingga Jakarta.

Di tengah kepanikan itu, saya justru teringat satu hal sederhana: air yang mengalir di keran rumah kita sehari-hari. Sering kali, tanpa bencana pun, air PAM di lingkungan saya mati mendadak.

Cerita dari Pagar Rumah

Suatu sore, tetangga saya mengetuk pagar. Ia meminta izin untuk mengambil air dari keran luar rumah saya. Rupanya sejak pagi air PAM di rumahnya tak kunjung mengalir. Saya tentu saja mengizinkan, karena kebetulan toren air saya selalu penuh. Dari situlah saya menyadari betapa air bisa menjadi perekat sekaligus pemicu kegelisahan dalam kehidupan bertetangga.

Air bukan sekadar kebutuhan, ia adalah urat nadi peradaban. Ketika suplai macet, kepanikan datang lebih cepat daripada gempa sekalipun. Buktinya, sebelum kita sempat membayangkan skenario bendungan retak akibat guncangan, banyak keluarga sudah panik duluan karena tak bisa mandi, mencuci, atau sekadar menanak nasi.

Toren yang Selamatkan Hari

Saya terbiasa menampung air tanah di toren yang terpasang di atas rumah. Bukan air hujan, memang, tapi fungsi cadangan ini terbukti sangat membantu. Toren itu saya tutup rapat agar nyamuk tidak bersarang, terutama ancaman DBD yang sering merebak. Sekilas sederhana, tapi inilah bentuk kecil dari ketahanan air rumah tangga.

Jika tetangga saya harus panik setiap kali air PAM mati, saya justru masih bisa tenang. Bahkan kadang ikut berbagi, asal sumber listrik tidak ikut padam. Dari situ saya sadar, menyiapkan cadangan air di rumah ibarat menabung ketenangan.

Namun, menyimpan air tanah di toren saja ternyata belum cukup. Kita butuh cara lain agar pasokan bisa lebih beragam. Di sinilah ide panen air hujan menjadi menarik.

Panen Hujan: Dari Ancaman Jadi Berkah

Hujan kerap kita anggap gangguan: jalan becek, cucian tak kering, atau atap bocor. Padahal, setetes hujan adalah emas cair yang jatuh gratis dari langit. Jika ditampung dengan benar, hujan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis air bersih.

Praktiknya tidak serumit yang kita bayangkan. Atap rumah sebenarnya sudah menjadi corong alami. Tinggal menambahkan talang yang diarahkan ke bak penampung atau toren cadangan. Filtrasi sederhana dengan saringan pasir atau kain bisa menyaring kotoran awal. Bahkan jika dikelola lebih lanjut, air hujan bisa dipakai untuk mandi, mencuci, hingga diminum.

Sayangnya, kebanyakan dari kita masih enggan memulai. Alasannya macam-macam: takut ribet, tidak ada lahan, atau sekadar merasa air PAM kan masih mengalir. Padahal, ketika gempa datang, ketika bendungan rawan diguncang, atau ketika musim kemarau panjang tiba, barulah kita tergagap.

Belajar dari Gempa Bekasi

Gempa yang terjadi di Bekasi memang tidak menimbulkan kerusakan besar, tapi cukup untuk mengguncang kesadaran. Infrastruktur megah seperti bendungan, rel kereta cepat, hingga jaringan listrik bisa saja terganggu oleh getaran alam. Jika itu terjadi, rantai kebutuhan dasar terutama air akan terdampak langsung.

Bayangkan jika suplai dari Jatiluhur yang mengairi jutaan rumah di Jakarta dan sekitarnya terganggu. Kita mungkin baru sadar bahwa sebotol air mineral di warung nilainya bisa lebih berharga dari pertamax. Sementara itu, rumah yang sudah terbiasa menampung hujan atau punya toren cadangan bisa lebih siap menghadapi situasi.

Artinya, bencana bukan hanya menguji kekuatan beton, tapi juga kecerdasan kita dalam menyiapkan cadangan kehidupan.

Dari Rumah Merdeka Air

Saya jadi teringat tantangan menulis bertema Panen Air Hujan di Rumah: Merdeka dari Krisis Air Bersih. Merdeka air bukanlah jargon besar. Ia bisa dimulai dari hal sederhana: menutup rapat toren, memasang talang, menyiapkan saringan, lalu menampung hujan. Sederhana, tapi dampaknya bisa menyelamatkan keluarga, bahkan tetangga, ketika krisis benar-benar datang.

Kemandirian air di rumah akan membuat kita lebih tenang. Tidak perlu khawatir setiap kali PAM mati. Tidak panik ketika berita gempa muncul di layar televisi. Dan tidak gelisah saat musim kemarau datang lebih panjang dari biasanya.

Penutup: Dari Toren ke Kesadaran Kolektif

Hari ini, keran dari toren di halaman rumah saya mungkin hanya dianggap sebagai penyelamat darurat bagi keluarga dan tetangga dekat. Tapi dalam skala yang lebih luas, ia adalah simbol bahwa kita tidak bisa lagi sepenuhnya bergantung pada sistem besar. Karena sistem besar bisa lumpuh kapan saja, baik oleh gempa, kemarau, atau kelalaian manusia.

Maka, mari kita mulai dari rumah sendiri. Jika setiap keluarga menyiapkan cadangan air: baik lewat toren, sumur resapan, maupun panen hujan. Kita bukan hanya menyelamatkan diri, tapi juga mengurangi beban kota secara keseluruhan.

Siapa sangka, dari getaran gempa di Bekasi, kita belajar bahwa air adalah harta paling rapuh sekaligus paling berharga. Selanjutnya kemerdekaan sejati mungkin bermula dari satu gentong hujan di sudut halaman.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun