Inti dari keluhan Suster dan juga kita semua yang peduli akan keadaan Penyandang Disabilitas ini tentunya realisasi Peraturan Daerah yang melindungi termasuk aksesbilitas penyandang disabilitas untuk mendapatkan sarana, pelatihan, dan ketersediaan lapangan kerja, bukan hanya sekedar pemijat tunanetra yang tergolong pekerja informal.
Lebih dari itu, karena faktanya memang di kota Medan sendiri, kota terbesar ketiga di Indonesia, jangankan sudah akan menerbitkan Perda tentang Penyandang Disabilitas, masuk Ranperda aja masih sebatas wacana, begitulah hasil penelusuran Suster Desideria.
Maka tidak heran apabila Suster Desideria bersama dengan komunitas mereka getol untuk mencari bantuan lewat orang-orang yang bisa 'memaksa' alias 'mendesak' agar Ranperda tentang perlindungan terhadap penyandang disabilitas dan lansia, yang pernah di inisiasi oleh DPRD Kota Medan, namun entah sampai kapan itu dibahas dan jadi Peraturan Daerah?
Menurut Suster Desideria, pemerintah harus menggenjot perhatian terhadap anak-anak luar biasa ini. Peraturan Pemerintah melalui UU No 8 tahun 2016 sudah ada. Akan tetapi dalam pelaksanaanya di lapangan hanya terjadi di beberapa tempat di Inonesia seperti Jakarta misalnya.
Sebagai data tambahan bahwa berdasarkan data hasil riset dari Universitas Indonesia mengenai penyandang disabilitas, dari 12,15 persen Penyandang Disabilitas di Indonesia, hanya 51,12 persen yang turut berpartisipasi dalam pasar kerja Indonesia.
Angka itu lebih rendah dari non-penyandang disabilitas yang berada pada angka 70,40 persen. Bahkan penyandang disabilitas kategori berat hanya 20,27 persen yang berpartisipasi di pasar kerja Indonesia.
Selain itu, lebih banyak penyandang disabilitas yang berkerja di sektor informal (65,55 persen) dibandingkan sektor formal (34,45 persen).
Bahkan pekerja informal untuk penyandang disabilitas berat jauh lebih besar lagi (75,8 persen). Sedangkan yang non-penyandang disabilitas 49,27 persen bekerja disektor informal.
Bahkan data dari Susenas tahun 2020 menyatakan bahwa dari 6,2 juta jiwa Penyandang Disabilitas Indonesia, baru hanya 20 persen yang dapat bekerja dan mayoritas bekerja di sektor informal yang rentan guncangan ekonomi.
Sebagian dari mereka bekerja di sektor pertanian dan pedesaan, bekerja sendiri atau menjadi pekerja tanpa upah. Bekerja tidak jauh dari rumah atau bekerja di rumah saja.
Sementara kondisi pekerjaan yang dialami penyandang disabilitas adalah model pembayaran dari pekerjaan cenderung bukan berbentuk gaji tetap, tapi harian, atau pembayaran berdasarkan output yang dihasilkan, menunjukkan betapa ketidakstabilan penghasilan penyandang disabilitas di negeri kita.