Salah satu nilai budaya tertinggi yang lahir dari Danau Toba selanjutnya, tentunya Dalihan Na Tolu. Pernahkah Anda mendengarnya? Dalihan Na Tolu diciptakan oleh Dinasti Sisingamangaraja sekitar tahun 1515 setelah keturunan Si Raja Batak menyebar ke seluruh pelosok Danau Toba, dengan tujuan agar seluruh marga-marga yang terbentuk menjaga garis keturunan mereka secara generalogis teritorial tanpa kecuali dan diperkuat dengan hukum religi dan hukum formal yang berbunyi seperti ini:
'Jolo tinitip sanggar,
Bahen huru-huruan;
Jolo sinungkun marga,
Asa binoto partuturan.'
Terjemahannya:
'Lebih dulu dipotong pimpin,
Membuat sangkar burung;
Lebih dulu ditanya marga,
Supaya diketahui pertuturan'.
Tak dapat dipungkiri keberadaan Dalihan Na Tolu dari dulu sampai sekarang menjadi pengikat sehingga dalam marga-marga Batak sangat jarang terjadi perkawinan satu marga. Jikapun itu terjadi hanya beberapa. Falsafah ini ada di setiap suku, misalnya di Mandailing atau Angkola disebut dengan Dalian Na Tolu, Simalungun disebut dengan Tolu Sahundulan, Rakut Sitelu dalam Suku Karo dan di Pakpak-Dairi disebut dengan Daliken Si Telu.