Jiwaku telah lama menjadi padang gersang yang penuh ratap,
Setiap kabar dari sana adalah bilah tajam yang menyayat.
Luka Palestina, sungguh, adalah luka yang menumpang di jantungku,
Hati ini seolah disayat-sayat oleh duka yang tak bertepi.
Melihat anak-anak meringkuk, tanpa air, tanpa atap yang utuh,
Di mata mereka, kulihat kehancuran yang tak berperi kemanusiaan.
Â
Lalu, sebuah bisikan melintas, membelah bisingnya nestapa,
Sebuah kata yang hampir terlupa maknanya: gencatan senjata.
Mendengar berita itu, ada gelombang haru yang tak tertahan,
Bahagia yang meledak, namun bercampur dengan kesedihan yang mendalam.
Betapa aku bahagia, sebuah jeda dari deru kematian yang kejam,
Sebuah waktu untuk merawat luka, waktu untuk bernapas tanpa cemas.
Â
Air mata ini tumpah, bukan lagi karena sakit dan marah,
Namun karena sebuah harapan rapuh yang diizinkan untuk bersemi.
Curahan hati ini adalah syukur atas jeda yang diberikan Langit,
Semoga ini menjadi pembuka, bukan lagi tipuan yang kembali menyakitkan.
Ini adalah waktu di mana ibu boleh memeluk anaknya tanpa ketakutan,
Waktu bagi bumi untuk menyerap air mata sebelum dibombardir lagi.
Â
Namun, kebahagiaanku segera digantikan oleh keharuan yang mendalam,
Ketika mataku menyaksikan rekaman, sebuah pemandangan yang takkan ku lupa.
Melihat video mereka kembali ke Gaza, melintasi puing dan debu,
Melangkah perlahan, namun dengan martabat yang tegak dan membara.
Mereka kembali ke tanah air mereka, yang telah lama dibombardir,
Menantang kematian, mengklaim kembali setiap jengkal yang telah diambil paksa.
Â
Aku terharu pada setiap langkah kecil anak-anak yang berlari,
Di lorong-lorong jalan yang dulunya adalah target tanpa ampun.
Setelah sekian lama dibombardir tanpa rasa kemanusiaan,
Mereka kembali, bukan sebagai korban, melainkan sebagai pemilik sah sejarah.
Wajah-wajah mereka cerah, mengandung kesabaran yang melampaui logika,
Membawa harapan bahwa rumah yang rata, pasti akan dibangun kembali.
Â
Luka Palestina adalah lukaku, sebuah sumpah yang terukir di nadi,
Sebab kita adalah satu tubuh, di mana satu bagian sakit, semua merasakan.
Setiap puing adalah rasa sakit, setiap tangisan adalah jeritan di telingaku,
Hati seperti disayat-sayat membayangkan penderitaan yang tak terperikan.
Namun, melihat kepulangan mereka, aku belajar tentang keteguhan transenden,
Mereka mengajarkanku bahwa iman adalah benteng yang tak bisa ditembus oleh rudal.
Â
Di tengah hening jeda, ku kirimkan pelukan doa yang lembut,
Membalut setiap trauma, menyeka air mata dari wajah-wajah letih.
Semoga kehangatan itu sampai, menembus dinginnya puing dan duka,
Memberi kekuatan pada setiap ibu, agar tetap kuat menimang janji.
Kami di sini tak pernah lelah bersuara, mengalirkan cinta dan empati,
Sebab kasih sayang adalah jembatan terkuat yang menghubungkan kita.
Â
Betapa damainya mendengar tidak ada lagi deru pesawat tempur,
Hanya suara tawa anak-anak yang menemukan kembali mainannya yang hilang.
Tawa itu adalah musik paling indah, yang membungkam kebisingan perang,
Ia adalah bukti bahwa kehidupan selalu mencari jalan untuk bersemi.
Kebahagiaan mereka adalah bayangan yang terpantul ke dalam jiwaku,
Sebuah hadiah kecil yang berharga, dari perjuangan yang tak kenal lelah.
Â
Ku saksikan dalam diam, jiwa-jiwa itu menata kembali puing-puing,
Dengan keyakinan transendental bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Adil.
Mereka adalah guru keteguhan yang tak pernah kulihat sebelumnya,
Mengajarkan bahwa kehormatan sejati bersemayam di dalam hati, bukan di gedung.
Kami bersyukur atas momen ini, meski tahu perjuangan masih panjang.
Sebab setiap kelegaan adalah nikmat yang tak ternilai harganya.
Â
Rasa syukur kini membanjiri, setenang sungai setelah badai berlalu,
Atas setiap langkah yang mereka ambil, setiap nafas yang mereka hirup.
Bahagia ku temukan dalam ikrar mereka untuk membangun kembali,
Menjadikan setiap serpihan luka sebagai pupuk bagi masa depan yang cerah.
Kami memeluk harapan ini erat, bersama jutaan hati yang peduli.
Dan percaya bahwa keadilan, Insya Allah, pasti akan terwujud sempurna.
Â
Ku tutup curahan ini dengan senyum dan keyakinan yang mantap,
Bahwa solidaritas kita takkan pernah lekang oleh jarak dan waktu.
Semoga kedamaian yang sejati segera menaungi seluruh tanah suci,
Dan keharuan ini menjelma kekuatan untuk terus berjuang di jalan kebenaran.
Ya Allah, lindungilah mereka, karuniakanlah mereka kehidupan yang penuh berkah.
Amin...
||Dalam Ruang Rindi Edelweys||Pelalan 11 Â Oktober 2025||
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI