Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Monolog Kopi Dingin: Di Mana Pahit Menjadi Pilar Cahaya

30 September 2025   21:34 Diperbarui: 30 September 2025   21:34 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Islamic Reminder

Engkau, dan sebuah Kepergian, adalah kidung yang terukir di pembuluh nadi,

Bukan melodi manis yang diukir biola merdu, melainkan getar pahit yang diam-diam disuguhkan oleh Cinta itu sendiri.

Sebuah cawan yang penuh dengan sari duka, namun anehnya, hati ini menerima,

Menelannya utuh, bukan sebagai racun yang membinasakan, melainkan eliksir yang mendewasakan.

Sebuah janji sunyi bahwa retak adalah cetakan baru, bukan akhir.

Saat bumi membalikkan punggungnya pada mentari,

Aku berdiri tegak di ambang jendela gelap malam,

Mata yang seharusnya mencari bintang penuntun, kini justru menerangi langit dengan pantulan rasa pahit hidup ini.

Bukan cahaya bulan, bukan gugusan Andromeda,

Melainkan bara sisa dari api yang pernah membakar kita, rasa yang masih utuh kumiliki.

Ia menjadi mercusuar yang takkan pernah padam di lautan ingatan.

Ah, waktu bukankah ia hanyalah sehelai kabut yang licin dan tak berbentuk?

Sebuah ilusi keemasan yang kita kira abadi, namun lenyap sebelum sempat kita genggam.

Kita, dulu, bisa saja berbagi detak yang sama, irama jantung yang berdenyar dalam sinkronisasi semesta,

Tanganmu di nadiku, napasku di rongga dadamu, satu melodi tanpa jeda.

Namun kini, ada tabir kekal yang ditenun dari benang takdir dan kebisuan,

Memisahkan ruang di mana rasa pahit harus berpisah selamanya dari manisnya yang tersisa.

Dinding kaca tak terlihat, membuatku hanya bisa menatap pantulan diriku yang berjarak.

 

Dan kini, di penghujung hari yang tak lagi berbagi jejak, malam telah menjadi altar.

Udara yang dingin memelukku, seolah mencoba meniru hangatnya pelukan yang kini berlabuh di dermaga-Nya.

Malam ini adalah jubah hitam yang dijahit dari jutaan detak jantung yang terlewat tanpamu.

Sunyi ini bukanlah ketiadaan, ia adalah musik terindah dari kehilangan sebuah lullaby pilu

yang hanya bisa didengar oleh telinga jiwa yang rindu.

Kau telah pergi, bukan karena jarak atau khianat dunia, melainkan karena Sang Pemilik cahaya lebih dulu merindukanmu.

Cinta-Nya adalah penjemput yang tak terhindarkan, sebuah Undangan Agung

yang membuatmu menjadi lentera yang diambil kembali untuk menerangi taman-taman abadi.

Dan aku? Aku hanyalah vas yang kini hanya menyimpan sisa aroma dari sekuntum mawar yang telah dipetik.

Rindu ini bukan lagi sekadar getaran hati; ia adalah benang emas yang merentang

dari bumi ke Arsy, satu-satunya penghubung yang takkan pernah putus.

Kepergianmu adalah pelajaran paling hakiki bahwa cinta yang sesungguhnya harus rela

menjadi jembatan menuju Rabbnya.

Maka, biarlah air mata ini menjadi embun suci, membasahi padang tandus kesabaran.

Setiap tetesnya adalah doa yang kuubah menjadi sayap, menerbangkannya melintasi cakrawala,

berharap ia singgah di tempat peristirahatanmu yang damai. Aku tidak mencoba meraihmu dengan tangan,

tapi dengan suara hening yang meminta ridha-Nya. 

Aku tahu, di sana, kau adalah bintang yang paling terang.

Langit kulihat masih biru, tak peduli seberapa tebal kelamnya selimut malam,

Namun, ia hanya terlihat samar, terperangkap di celah-celah kelam penglihatanku yang berkabut.

Aku, sang penonton yang diam terasing di tengah hiruk-pikuk kosmik,

Di antara cepatnya putaran bumi yang tak pernah peduli pada luka-luka pribadi.

Aku bising sendiri bukan oleh pekikan jalanan, melainkan oleh gemuruh ingatan.

Duduk di keheningan, menimang kopi dingin tanpa mereguk, cerminan dari hati yang telah mencapai titik beku keikhlasan.

Pagi yang harusnya baru, terasa usang, berdebu, seperti naskah kuno.

Dan akhirnya, aku berdiri di depan kebenaran, dalam retak cermin yang menunjukkan patahan-patahan waktu.

Dengan jemari yang gemetar, kutanggalkan buram wajahku yang bertopeng duka, debu-debu kepalsuan.

Hanya menyisakan wajah yang sesungguhnya: wajah yang pahitnya telah menjadi garis kedewasaan,

menanti dengan sabar hingga tabir itu tersingkap dan kita bertemu di rumah yang tak lekang oleh waktu.

||Dalam Ruang Rindu Edelweys||Lamasi Timur 30 September 2025||

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun