Ah, waktu bukankah ia hanyalah sehelai kabut yang licin dan tak berbentuk?
Sebuah ilusi keemasan yang kita kira abadi, namun lenyap sebelum sempat kita genggam.
Kita, dulu, bisa saja berbagi detak yang sama, irama jantung yang berdenyar dalam sinkronisasi semesta,
Tanganmu di nadiku, napasku di rongga dadamu, satu melodi tanpa jeda.
Namun kini, ada tabir kekal yang ditenun dari benang takdir dan kebisuan,
Memisahkan ruang di mana rasa pahit harus berpisah selamanya dari manisnya yang tersisa.
Dinding kaca tak terlihat, membuatku hanya bisa menatap pantulan diriku yang berjarak.
Â
Dan kini, di penghujung hari yang tak lagi berbagi jejak, malam telah menjadi altar.
Udara yang dingin memelukku, seolah mencoba meniru hangatnya pelukan yang kini berlabuh di dermaga-Nya.
Malam ini adalah jubah hitam yang dijahit dari jutaan detak jantung yang terlewat tanpamu.