Lehman pun memulai kalimatnya demikian, "Setahu ulun, ngaran ulun ini diambil dari nama pahlawan kebanggaan urang Banua yang bernama Demang Lehman!"
"Seratus untuk ikam," ucap Abah dan Mama Lehman hampir bersamaan. "Ayo, lajui kita ke masjid!" Ucap mereka berdua hampir bersamaan kepada anak semata wayangnya itu.
Mereka bertiga kemudian segera bersiap-siap pergi ke masjid. Seperti biasa, Lehman tak lupa membawa sarung berwarna hitam putih kesayangannya. Sarung itu merupakan hadiah dari Kai Abdussamad Ali. Kakek Lehman yang satu ini memang mempunyai banyak koleksi sarung dengan motif serupa.
Karena Masjid Al-Karomah letaknya tak jauh dari rumah mereka, maka mereka pergi dengan berjalan kaki. Berlahan namun pasti, ketiganya pun akhirnya sampai di masjid yang dituju.
Sesampainya di sana, mereka segera  bergabung dengan jamaah lainnya untuk menjalankan ibadah salat Isya dan tarawih malam itu.
Hikayat Sarung "Demang Lehman"
Keesokan harinya Lehman terbangun saat subuh tiba. Setelah makan sahur bersama Abah dan Mamanya, Lehman pun diajak Abahnya untuk mengikuti ibadah salat Subuh di Masjid Al-Karomah. Lagi-lagi Lehman membawa sarung favoritnya itu. Sarung dengan warna hitam putih bermotif garis-garis.
Sepulang dari masjid, dalam perjalanan Lehman dan Abahnya saling berbagi cerita. Kali ini lagi-lagi kisah tentang Perang Banjar yang mereka perbincangkan.
"Lehman, yang perlu ikam tahu, waktu bulan Ramadan tahun 1280 H, ada pahlawan kita yang bernama Demang Lehman dihukum mati oleh bubuhan Walanda," kata Abah memulai kisahnya.
"Aduh, kasihan sekali ya Demang Lehman itu!?" sahut Lehman menanggapi pemaparan Abahnya. "Lalu bagaimana kelanjutannya, Bah?" tanya Lehman tak sabar.
"Demang Lehman itu adalah salah satu panakawan dari Pangeran Hidayatullah. Karena Demang Lehman ini orangnya setia, maka beliau diangkat menjadi Kepala Distrik Riam Kanan, bergelar Kiai Adipati Mangku Negara." kata Abah melanjutkan kisahnya.