Sehat mental erat hubungannya dengan kecerdasan emosional (emotional intelligence/EQ). Konsep yang dipopulerkan Daniel Goleman ini merujuk pada kemampuan mengenali emosi diri, mengelolanya secara tepat, memahami perasaan orang lain, dan membangun relasi sehat.
Penelitian Goleman (1995) hingga riset-riset kontemporer konsisten menunjukkan bahwa EQ justru lebih menentukan keberhasilan seseorang dibandingkan IQ semata. Seseorang bisa cemerlang secara akademis, namun jika gagal mengelola stres, mudah meledak dalam konflik, atau tidak mampu berempati, keberhasilannya akan rapuh.
Dalam dunia kerja, karyawan dengan EQ tinggi cenderung lebih tahan menghadapi tekanan, mampu beradaptasi dalam tim, dan menjadi pemimpin yang menginspirasi. Dalam keluarga, orang tua dengan EQ matang mampu mendidik anak dengan penuh kasih tanpa kehilangan ketegasan. Di dunia pendidikan, guru yang peka emosional akan lebih efektif menumbuhkan motivasi belajar siswa.
Dengan kata lain, EQ adalah mesin resilien: ia membuat mental kita lentur, tidak mudah patah, dan siap menghadapi badai kehidupan.
Dari Cerdas Emosional ke Daya Sosial
Kecerdasan emosional tidak berhenti pada pengelolaan diri. Ia berkembang menjadi daya sosial - kemampuan berempati, berkolaborasi, dan berkontribusi untuk sesama.
Masyarakat dengan anggota yang berdaya sosial tinggi cenderung lebih harmonis, lebih inovatif, dan lebih mampu mengatasi krisis bersama. Sebaliknya, rendahnya daya sosial sering melahirkan intoleransi, perpecahan, bahkan kekerasan.
Bayangkan sebuah komunitas kerja: tim dengan anggota yang saling percaya, berempati, dan berani mengemukakan gagasan tanpa takut disalahkan, akan jauh lebih produktif daripada tim yang penuh intrik. Demikian pula dalam masyarakat: warga yang saling peduli akan lebih tangguh menghadapi bencana, pandemi, maupun krisis ekonomi.
Dengan demikian, kesehatan mental adalah modal sosial. Ia bukan isu personal semata, tetapi fondasi kemanusiaan. Individu yang sehat mental akan lebih mampu menularkan energi positif, membangun jejaring, dan menegakkan solidaritas.
Merawat Jiwa, Menguatkan Empati
Di titik ini, kita perlu mengubah cara pandang. Merawat jiwa bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda kematangan. Menemui psikolog bukanlah aib, melainkan langkah cerdas untuk memelihara daya hidup.
Masyarakat kita sering kali masih terjebak stigma: gangguan mental dianggap kelemahan moral, padahal ia adalah kondisi medis dan sosial yang nyata. Membuka percakapan tentang perasaan, mengakui kesulitan, bahkan menangis sekalipun, adalah bagian dari keberanian emosional.
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia adalah ajakan global untuk menghancurkan stigma, menumbuhkan empati, dan memperluas akses layanan kesehatan mental. Di Indonesia, kita membutuhkan gerakan kultural yang menekankan: sehat mental adalah hak setiap orang.