"Kekuatan pemimpin terletak pada keberanian mengubah potensi pribadi menjadi energi yang menggerakkan tim."
Awal dari Segala Kepemimpinan: Menemukan Diri Sendiri
Sejauh pengalaman saya memberikan coaching pada peserta Management Trainee dan Senior Manager, ada satu keyakinan yang tak berubah. Bahwa, setiap pemimpin hebat tak pernah lahir dalam semalam. Mereka justru tumbuh dari perjalanan panjang. Banyak melakukan kesalahan tak sengaja, kurang cermat, tidak mengedepankan prinsip kehati-hatian, hingga reaktif dan ceroboh.
Ya, prosesnya penuh pencarian diri, namun tetap punya keberanian menghadapi kenyataan. Disini, kita menyadari: tak seorang pun bisa jadi orang yang sempurna. Namun, mereka tahu satu rahasia sederhana. Daripada larut dalam kelemahan atau ancaman, mereka secara sadar lebih memilih pilihan yang lebih baik. Yaitu mengasah kekuatan utama yang sudah ada di dalam dirinya dengan memanfaatkan peluang diatas kekuatan. Di titik inilah, kepemimpinan menemukan maknanya.
Pertanyaan penting yang perlu kita renungkan bukan lagi "Apa kelemahanku?". Melainkan "Bagaimana aku bisa melipatgandakan kekuatanku agar memberi dampak lebih besar?"
Tulisan ini mengajak Anda berjalan sejenak dalam refleksi:
1. Menyelami kekuatan sang diri dalam konteks kepemimpinan.
2. Melihat sebuah kisah nyata, bagaimana potensi berubah menjadi energi perubahan.
3. Menemukan langkah-langkah sederhana yang bisa langsung diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari.
Case Reflection: Dari "Analitis" ke "Penggerak Perubahan"
Saya pernah membantu seorang manajer bernama Listyo, bukan nama sebenarnya. Ia orang yang pandai. Sejak awal, saya mengenalnya sebagai sosok yang sangat analitis. Data baginya adalah angka, sekaligus bahasa yang ia pahami dengan jernih. Listyo paling cepat meracik laporan yang langsung ia ambil dari server atas izin bagian IT. Ia juga pandai dalam membaca laporan, piawai menyusun analisis, dan sangat jeli melihat detail yang terlewat oleh orang lain.
Namun, tak jarang timnya berkeluh kesah:
"Listyo terlalu lama di data. Sajian datanya harus bagus dulu, itu berlebihan, dan pada akhirnya keputusan jadi lambat."
Bagi saya saat itu, kalimat sederhana itu adalah cermin. Lalu saya menemui dan berdiskusi dengan Listyo. Ia tersadar, bahwa kekuatan yang ia banggakan ternyata bisa menjadi "batu sandungan" bagi team. Ia pun sempat galau dan sedikit merasa bimbang: haruskah ia mengubah dirinya sepenuhnya?
Sampai akhirnya, lewat sesi coaching, ia menemukan sebuah pencerahan. Sebagai coachee, ia belajar bahwa analitis adalah signature strength dirinya. Itu adalah karunia Tuhan sekaligus modal terbesar yang ia miliki. Namun, kekuatan ini akan menjadi penghambat, bila tidak diterjemahkan ke dalam aksi nyata. Saya katakan padanya, data itu kontribusinya 10% untuk kesuksesan, 20% harus di customized sesuai dengan goal perusahaan, dan 70% harus actionable.
Lalu ia mulai bereksperimen dengan tiga langkah kecil: