Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Insan Pembelajar

Agung MSG - Trainer Transformatif | Human Development Coach | Penulis Buku * Be A Rich Man (2004) * Retail Risk Management in Detail (2010) * The Prophet’s Natural Curative Secret (2022) 📧 Email: agungmsg@gmail.com 📱 Instagram: @agungmsg 🔖 Tagar: #haiedumain | #inspirasihati

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kritik Politik: Oksigen Demokrasi atau Gas Beracun?

9 Agustus 2025   08:17 Diperbarui: 9 Agustus 2025   08:17 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kritik politik yang sehat menjadi penyeimbang kekuasaan dan pelindung kebebasan berpendapat. |Dokumen Warga Pati Via Kompas

Kritik yang lahir dari keberanian dan integritas adalah napas yang menjaga demokrasi tetap hidup.

Di negeri yang mengaku demokratis, kritik seharusnya menjadi vitamin bagi kekuasaan, bukan racun bagi pengkritiknya. Namun, belakangan ini, udara demokrasi terasa makin tipis. Satu kalimat salah tafsir, satu unggahan yang dibaca berbeda, bisa menjadi tiket menuju ruang interogasi. Di media sosial, kita melihat warganet saling mengingatkan, atau saling menakut-nakuti. Dan terlontarlah kalimat klise: "Hati-hati kalau bicara politik, bisa panjang urusannya."

Tak sedikit juga yang berbisik, "Mengkritik itu sah, tapi siap-siap saja kalau dipanggil, dimintai keterangan atau klarifikasinya." Bahkan, narasi yang lebih ekstrem sudah mengakar: pengkritik bisa dijebloskan ke penjara. Lalu, segala argumentasi pembelaan silakan disampaikan di hadapan majelis hakim saja.

Ah, sebegitu parahkah demokrasi di negeri kita?

Fenomena ini, bukan hanya mengganggu kebebasan berpendapat, tetapi juga mengikis keberanian berpikir kritis. Demokrasi yang seharusnya tumbuh dari ruang dialog, bila begini terus justru bisa terancam layu oleh ketakutan kolektif. Akibatnya, masyarakat bisa terjebak dalam dua kutub ekstrem: mereka yang memilih diam demi aman. Atau mereka yang berbicara lantang tanpa filter, berbekal emosi lebih banyak daripada data.

Padahal, dalam ekosistem demokrasi, kritik politik ibarat oksigen: tak terlihat, namun tanpa itu sistem akan sesak napas. Ia adalah mekanisme check and balance terhadap kebijakan. Pencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan pengingat agar pemimpin tetap selaras dengan mandat publik.

Namun, di era digital yang penuh turbulensi informasi, kritik politik menghadapi ujian paling rumit dalam sejarahnya. Yaitu, bagaimana ia tetap jernih, berbobot, dan tajam, tanpa tergelincir ke jurang bias atau insinuasi yang justru merusak kredibilitasnya?

Itulah yang akan kita bedah dalam tulisan ini: tantangan besar bagi jurnalisme di era digital. Dan bagaimana kita bisa mengedepankan fakta, menjaga integritas, sekaligus melindungi kebebasan berpendapat dari jebakan yang mematikan esensinya.

Digitalisasi: Antara Demokratisasi dan Distorsi

Era digital telah meruntuhkan tembok eksklusivitas informasi. Kini, siapa pun bisa menjadi "wartawan dadakan" hanya dengan kamera ponsel dan koneksi internet. Satu unggahan bisa memicu diskusi nasional, bahkan mengguncang reputasi politisi.

Demokratisasi informasi ini positif, tapi ada sisi gelapnya: distorsi. Celakanya, algoritma media sosial lebih menyukai konten yang memancing emosi ketimbang konten yang memerlukan verifikasi. Akibatnya, opini sering bercampur dengan fakta, dan publik sulit membedakan keduanya. Bagi jurnalisme, inilah paradoks: akses luas, tetapi risiko bias semakin tinggi. Karena itu, mengedepankan prinsip kehati-hatian harus selalu mengiringi.

Memisahkan Fakta dan Opini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun