"Jangan bertanya siapa yang berhak atas ibumu, tetapi bertanyalah: apakah aku telah cukup mencintainya?"
Malam merangkak perlahan, menelan sisa senja yang berpendar di ufuk barat. Di sebuah rumah kecil yang sederhana, seorang ayah duduk di hadapan anaknya. Wajahnya penuh ketenangan, namun dalam sorot matanya, ada kebijaksanaan yang hendak ia wariskan.
"Nak," ucap sang ayah, suaranya lembut namun penuh makna, "kelak, bila ayah telah tiada, pastikan ibumu berada dalam perawatan terbaikmu."
Anak itu mengangkat wajahnya, menatap ayahnya dengan kebingungan. "Tentu, Ayah. Bukankah sudah seharusnya begitu?"
Sang ayah tersenyum samar. Ia tahu, jawaban anaknya keluar dari logika yang sederhana, namun kehidupan tak sesederhana itu.
"Ayah ingin kau mengerti satu hal," lanjutnya. "Jangan gunakan logikamu untuk menentukan siapa yang lebih pantas merawat ibumu. Gunakan hatimu. Gunakan nuranimu. Gunakan keimananmu."
Anak itu terdiam. Kata-kata ayahnya seakan menggantung di udara, menanti untuk meresap dalam benaknya.
"Ketahuilah, Nak," sang ayah melanjutkan, "cinta seorang ibu lebih luas dari samudera, lebih dalam dari lembah, lebih tinggi dari puncak gunung mana pun. Engkau mungkin tidak menyadarinya, tetapi di setiap langkah yang kau ambil, ada jejak pengorbanannya yang tak terlihat."
Sang ayah menatap jauh ke arah jendela, seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata. "Ibumu selalu mencintaimu, lebih dari yang bisa kau pahami. Setiap kali ia melihat anak kecil yang sebayamu dulu, ia akan tersenyum dan berkata, 'Begitulah anakku saat kecil.' Setiap ada makanan yang kau sukai, ia akan mengingat betapa bahagianya dirimu saat pertama kali mencicipinya. Aall kinds of everything reminds me of you."
Hening menyelimuti ruangan. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan.