Awal merantau ke Jakarta -- 23 tahun lalu--, saya punya teman kantor tidak terlalu dekat. Saban hari ketemu, tetapi tidak terlalu sering ngobrol. Sesekali bersapa berdiskusi, hanya seperlunya saja. Kami sama sama perantau, saat itu teman ini sudah berkeluarga.
Ayah muda dua atau tiga tahun di atas saya, secara fisik dan perawakan kami seperti sepantaran. Tinggi badan kami sepadan, umurnya di kisaran awal kepala tiga. Karena satu dan lain hal, saya resign lebih dulu pindah ke kantor baru.
Suatu hari teman ini mengirim pesan, membutuhkan uang untuk biaya kebutuhan keluarga. Saya bujangan dan punya tabungan, dengan ringan hati meminjamkan uang. Niat ingin membantu, yakin namanya utang pasti dikembalikan.
Sejak pinjam meminjam uang, komunikasi kami sangat jarang. Sekali dua kali kirim SMS – saat itu belum ada WA—, saya sekadar basa-basi. Saya masih ada tabbungan, tak terlalu membahas utang. Puluhan tahun tak lagi berteman, saya benar- benar kehilangan kontak.
Feeling saya berkesimpulan, teman ini tak ada niat membayar utang. Saat kondisi keuangan sedang baik- baik saja, saya tetap tenang mencoba ikhlas. Tetapi soal akad utang piutang, sama sekali tidak otomatis gugur. Kalau sewaktu-waktu dibayar, dengan senang hati uang diterima.
Tetapi ketika kondisi keuangan sedang sempit, ingatan seperti diungkit lagi. Tentang uang masih di teman lama, termasuk uang di beberapa orang lainnya.
Btw, tidak satu dua orang utang, sampai sekarang belum dibayarkan. Sampai saya menikah beranak pinak, mereka eksis di akun medsosnya. Kalau ditagih justru mereka lebih galak, saya seperti dipihak yang tak punya Nurani.
Dalam keadaan terpojok, saya tak punya pilihan lain. Kecuali belajar lebih Ikhlas, biarkan semesta bekerja dengan caranya. Meski sebagai manusia biasa, sakit hati itu sewaktu- waktu muncul.
Ketika keadaan sedang tidak baik- baik, ketika dompet sedang kering keringnya. sementara pemilik utang, posting di medsos sedang bersenang- senang
Komitmen Membayar Utang Akan Menyelamatkan Reputasimu
Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Kami duduk di sisi Nabi SAW. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!”. Rasulullah bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” , Sahabat menjawab, “Iya.”. “Apakah dia meninggalkan sesuatu?”, Sahabat menjawab, “Tidak ada.”
Rasulullah berkata, “Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian Rasulullah menyolatinya.
(HR. Bukhari no. 2289)