Dulu awal tahun 2000-an, ada presenter tv yang sedang naik daun. Beberapa acara yang dipandu, berhasil ngetop di masanya dan mengesankan para pemirsa.
Saya termasuk yang ngefans, dengan keunikan dimiliki sang presenter. Seolah mematahkan stigma dunia pertelevisian, bahwa penampil utama di layar kaca musti punya body goal.
Presenter dengan bobot di atas seratus kilogram, muncul dengan kecerdasan yang dipunyai. Berhasil mencuri perhatian masyarakat, berkat kepiawaiannya membawakan acara.
Kehadirannya tidak sebagai obyek penderita, alias menjadi bahan celaan dan candaan lawan main. Seperti umum acara televisi -- biasanya acara komedi--, menjadikan fisik (tubuh gendut) untuk menaikan rating.
Berkat presenter ini juga, cara pandang masyarakat tentang kata cantik bergeser. Bahwa perempuan dengan tubuh gemuk, boleh tampil pintar, cerdas dan tidak untuk dilecehkan.
Saya masih ingat kalimat "big is beautiful" disematkan, yang kemudian menyemangati perempuan bertubuh gemuk tampil ke depan.
Adalah Dewi Hughes, pesohor yang menjadi ikon "gemuk dan cantik". Tidak hanya berkibar di layar gelas, dipercaya sebagai duta beberapa Kementerian. Berbicara di forum internasional, disejajarkan public figure dan tokoh dunia lainnya.
Saya sempat terbawa pikiran, bahwa tubuh gemuk tapi sehat dan bisa berprestasi, no problem. Mengapa harus dipermasalahkan, dan mengapa harus dikuruskan. Bahkan tubuh gemuk itu, bisa menjadi pembawa hoki.
Btw, Kompasianer. Saya yang pro Dewi Hughes, saat itu dengan berat badan banyak. Dengan pola makan semua dikunyah, yang penting kenyang. Sampai- sampai di benak terkuatkan, tidak ada niatan menjalankan diet.
Saat nonton acara bincang- bincang si presenter, dengan santainya saya sambil ngunyah aneka gorengan. Meski sudah diatas jam sembilan malam, waktunya orang berhenti makan. Di kamar kost saya nyetok biscuit, syrup, aneka snack untuk dinikmati kapan saja.