Tetapi setelah jauh hari dan saya renungkan, saya tersadar tentang satu hal. Betapa keadaan sedemikian tak mengenakkan, ternyata memang dibutuhkan.
Agar adrenalin si bujangan bangkit dan menggelegak, Â terpacu untuk melipatgandakan usaha demi menemukan tambatan hati.
Kenyinyiran dan sifat iri orang lain, bisa dijadikan batu pijakan si bujangan untuk berjuang lebih keras. Belajar menurunkan ego agar menjadi lebih bijak.
Masa introspeksi diri musti sebaik-baik dimanfaatkan, untuk menumbuhkan tekad, keberanian, dan kesabaran menjalani proses.
Menikah adalah kata kerja, itu yang saya simpulkan.
Namanya kata kerja berarti aktif, membutuhkan effort, ada energi, pikiran yang dikerahkan. Tak pelak mensyaratkan pengorbanan dan kesabaran.
Semua usaha musti ditunaikan, bahkan sedari awal terbersit niat atau keinginan menikah.Â
Saya mengalami sendiri, sewaktu ingin menemukan calon istri. Tidak kepalang effort musti saya kerahkan.
Dari yang semula idealis memasang kriteria, sampai akhirnya menanggalkan kemauan diri sendiri. Segala cara dicoba, nyatanya tidak kunjung juga mendapatkan.
Mula-mula cukup pede mencari sendiri, sampai menyerah dan minta dicomblangi teman sebaya atau senior demi mendapat kenalan.
Setelah diuji kesabaran, rupanya cara terakhir (melalui perantara) membuahkan hasil. Seorang kenalan, menjadi jalan saya dipertemukan calon istri yang sreg.