"Duit gak usah buat beli macam-macam, mending ditabung buat beli rumah."
Sejak si bungsu menikah, Ibu mendadak berubah, menjadi orang paling 'cerewet' di dunia. Apalagi kalau melihat, anaknya baru membeli barang ini dan itu atau perabotan lainnya. Entah meja, kursi, ranjang, lemari, televisi, kulkas, handphone atau peralatan elekronik sejenisnya.
Selalu komentar yang mirip diulang-ulang, seolah tak mau ambil peduli dengan perasaan anaknya. Padahal, namanya juga keluarga baru, pasti pengin punya barang untuk isi rumah kan.
Lama-lama saya hafal, kalimat yang diucapkan ibu. Meski berusaha menahan sebal, tetap saja telinga memerah dan perasaan terusik.
"Sekarang beli teve, bentar lagi keluar teve model baru pengin ganti lagi, padahal fungsinya sama. Terus  kapan tabungan terkumpul, ingat lho, setiap tahun harga rumah naik terus."
Kalimat ibu bertambah panjang, pendapatnya seolah menjadi pendapat paling benar. Si anak  mendengar tanpa menjawab, mengingat ibu adalah orang paling dihormati.
Ibu memang (menurut saya) punya kemauan keras, kadang kurang bisa menahan diri kalau bicara, apalagi dengan anak sendiri. Meski tujuannya baik, tapi kurang bisa menempatkan pada situasi dan kondisi yang tepat.
Menurut ibu, rumah adalah aset tertinggi bagi sebuah keluarga. Tak ada guna memiliki aneka barang canggih, selama masih tinggal di rumah kontrakkan.
"Rumah tangga itu, kalau sudah punya rumah pasti hidupnya bisa anyem"
Sungguh, saya tidak ingin membalas kemarahan ibu dengan kemarahan juga. Saya percaya, semarah marahnya ibu pasti didasari rasa sayang pada anaknya.
Setiap kalimat ibu, bisa mengandung doa dan pengharapan yang mendalam. Beliau akan sangat bahagia, kalau anaknya bisa memiliki rumah sendiri.