Ketika di tabungan ada uang (misal) lima belas juta juta, sepuluh juta langsung dijadikan deposito. Sisa lima juta, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Selang beberapa tahun, beberapa lembar deposito nilai berbeda sudah disimpan. Meski masih jomblo dan belum punya calon, saya tetap disiplin menabung, demi cita cita membeli rumah dengan cash.
Ketika umur merambat hampir kepala tiga, pasangan jiwa dinanti tiba juga. Seperangkat alat sholat dan perhiasan dibayar tunai, sebagai penguat ikrar pada saat akad diucapkan.
Sehari setelah menikah, istri langsung diboyong tinggal di rumah kontrakkan. Pasangan suami istri baru, bersama ingin mewujudkan tekad, membeli rumah secara cash.
Secara nominal, deposito memang belum terlalu banyak. Namun, kami mulai giat mencari rumah sebagai tempat tinggal. Rajin mendatangi pameran perumahan, atau langsung menuju lokasi perumahan, baik yang  baru dibangun atau rumah lama yang ditempel plang di jual.
"Kalau punya duit buat nambah tabungan, jangan beli macam-macam dulu"
Sejak saat itu, ibu berubah seperti intelegen, mengamati segala gerak gerik anaknya. Membeli barang sedikit mahal saja, langsung mengintograsi macam-macam.
Sebagai anak, tak banyak yang saya sangkal dengan kalimat ibu. Justru omelan ibu, saya jadikan motivasi untuk lebih giat berusaha dan menabung.
Saya pernah membaca satu buku, berjudul Mestakung karya Prof Yohanes Surya. Buku berukuran medium, memberi pencerahan tentang teori 'Semesta Mendukung (disingkat Mestakung).
Pada orang yang bersungguh-sungguh berusaha, alam dan lingkungan sekelilingnya seperti tergerak memberi bantuan.
Dalam buku dicontohkan, orang bisa melompati tembok tinggi ketika ketakutan dikejar anjing. Pada kondisi normal, belum tentu orang tersebut bisa melompat setinggi itu.