Pendahuluan
     Korupsi merupakan salah satu permasalahan krusial yang menghambat kemajuan ekonomi dan pembangunan di Indonesia. Dampak dari praktik korupsi ini tidak hanya merugikan keuangan negara secara signifikan, tetapi juga mengganggu stabilitas pemerintahan, memperparah ketimpangan sosial, serta mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Transparency International (2023) mencatat bahwa Indonesia masih memiliki peringkat yang cukup tinggi dalam indeks persepsi korupsi, yang menunjukkan bahwa berbagai upaya pemberantasan korupsi masih menghadapi hambatan besar dan memerlukan pendekatan yang lebih efektif serta sistematis.
     Untuk memahami secara lebih mendalam faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku korupsi, berbagai teori telah dikembangkan oleh para ahli. Salah satu pendekatan yang paling relevan dalam konteks ini adalah Teori GONE yang diperkenalkan oleh Jack Bologna. Teori ini menguraikan empat elemen utama yang menjadi pemicu tindakan korupsi, yaitu Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan atau rasionalisasi). Keempat faktor ini berinteraksi secara kompleks dan menciptakan kondisi yang memungkinkan seseorang melakukan penyimpangan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pemerintahan. Dengan menerapkan kerangka ini, kita dapat menganalisis secara lebih komprehensif berbagai kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, termasuk kasus korupsi E-KTP, yang telah menjadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah negara ini dan menyebabkan kerugian negara dalam jumlah besar.
     Dalam konteks sosial, korupsi juga memperdalam ketimpangan ekonomi dengan mengalihkan sumber daya publik ke tangan segelintir elite. Dampak yang ditimbulkan meliputi rendahnya kualitas layanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan, yang pada akhirnya merugikan masyarakat luas. Oleh karena itu, pemahaman terhadap faktor-faktor penyebab korupsi menjadi penting agar langkah-langkah pencegahan dapat diterapkan dengan lebih efektif.
Apa Itu Korupsi?
     Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok, baik dalam bentuk uang, barang, maupun jasa (Transparency International, 2022). Transparency International mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi (Transparency International, 2022). Di Indonesia, korupsi diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001).
     Korupsi memiliki dampak luas terhadap perekonomian, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, serta menciptakan ketimpangan sosial (KPK, 2023). Bentuk korupsi meliputi suap, penggelapan, penyalahgunaan wewenang, dan pemerasan (KPK, 2023).
Mengapa Korupsi Bisa Terjadi?
     Korupsi terjadi karena kombinasi berbagai faktor, baik dari individu maupun lingkungan sosial (Bologna, 1993). Beberapa penyebab utama korupsi adalah:
- Faktor Individu: Keserakahan (greed), kebutuhan ekonomi, lemahnya integritas, moralitas yang rendah, serta kurangnya etika profesional.
- Faktor Struktural: Lemahnya sistem pengawasan, ketidakefektifan hukum, budaya permisif terhadap korupsi, serta tidak adanya transparansi dalam pengelolaan anggaran.
- Faktor Sosial: Lingkungan kerja yang mendukung perilaku koruptif, tekanan ekonomi, rendahnya risiko tertangkap, serta adanya norma sosial yang membiarkan korupsi terjadi.
Teori GONE
     Teori GONE diperkenalkan oleh Jack Bologna dalam kajian fraud detection. Jack Bologna adalah pencetus Teori GONE dalam konteks korupsi dan kecurangan keuangan. Teori ini menjelaskan faktor-faktor utama yang menyebabkan seseorang melakukan kecurangan atau penipuan dalam dunia bisnis dan keuangan, yang mana faktor-faktor ini saling berinteraksi dan membentuk kondisi yang memungkinkan seseorang melakukan tindakan korupsi.
Menurut Bologna (1994), korupsi terjadi ketika terdapat kombinasi dari empat elemen utama, yaitu:
- Greed (keserakahan) menggambarkan dorongan individu untuk memperoleh keuntungan materi sebanyak mungkin tanpa mempertimbangkan aspek etis atau hukum.
- Opportunity (kesempatan) merujuk pada situasi yang memberikan celah bagi individu untuk melakukan korupsi akibat lemahnya pengawasan atau regulasi.
- Need (kebutuhan) mengacu pada kondisi di mana seseorang merasa membutuhkan dana tambahan untuk kepentingan pribadi maupun politik, meskipun mereka tidak berada dalam kondisi ekonomi yang mendesak.
- Exposure (pengungkapan atau rasionalisasi) adalah tingkat risiko atau kemungkinan seseorang untuk terungkap melakukan tindakan korupsi. Jika tingkat exposure rendah, maka kemungkinan seseorang melakukan korupsi semakin besar.
     Menurut Wells (2005), teori GONE sering digunakan dalam analisis penyebab utama tindak pidana korupsi karena mampu menggambarkan kompleksitas penyebab korupsi secara sistematis. Dengan memahami keempat faktor ini, kita dapat merancang strategi yang lebih efektif dalam mencegah serta memberantas korupsi di Indonesia.
Bagaimana Faktor-Faktor GONE dalam Konteks Korupsi di Indonesia?
     Greed atau keserakahan sering kali menjadi faktor dominan dalam kasus-kasus korupsi di Indonesia. Pejabat dan pengusaha yang memiliki akses terhadap dana proyek cenderung terdorong untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya, meskipun mereka telah memiliki kekayaan yang mencukupi. Dalam kasus E-KTP, misalnya, pejabat tinggi seperti Setya Novanto tetap melakukan korupsi meskipun telah berada dalam posisi ekonomi yang nyaman (Hoffman & Patel, 2017). Keserakahan ini menjadi pemicu utama di banyak kasus korupsi lainnya yang melibatkan elite politik dan pejabat pemerintahan.
     Opportunity atau kesempatan untuk melakukan korupsi semakin besar ketika sistem pengawasan dan regulasi di Indonesia masih lemah. Banyak kasus korupsi terjadi akibat lemahnya mekanisme pengendalian internal dalam birokrasi dan legislatif. Dalam proyek pengadaan barang dan jasa, celah dalam proses tender sering kali dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengatur pemenang proyek sebelum proses lelang dilakukan (Treisman, 2000). Akibatnya, transparansi dalam pengelolaan anggaran publik menjadi terabaikan dan memperbesar peluang terjadinya tindak korupsi.
     Need atau kebutuhan juga berperan sebagai faktor pendorong dalam tindakan korupsi. Meskipun mayoritas pelaku korupsi memiliki kondisi ekonomi yang baik, mereka tetap membutuhkan dana tambahan untuk berbagai kepentingan, seperti membiayai kampanye politik, mempertahankan kekuasaan, atau memenuhi gaya hidup mewah (Heywood, 2017). Dalam kasus E-KTP, beberapa aktor terlibat dalam korupsi dengan tujuan memperoleh dana politik yang besar untuk mempertahankan pengaruh mereka dalam pemerintahan (Johnston, 2014).
     Exposure atau paparan terhadap risiko terungkapnya tindakan korupsi menjadi faktor penentu dalam pengambilan keputusan seseorang untuk melakukan korupsi. Jika mekanisme pengawasan lemah dan penegakan hukum lambat, pelaku akan merasa lebih aman dalam melakukan korupsi. Dalam kasus E-KTP, investigasi baru dimulai setelah skandal ini berlangsung bertahun-tahun tanpa adanya deteksi dini (Klitgaard, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa minimnya pengawasan yang efektif memperbesar kemungkinan pejabat negara melakukan tindakan korupsi dengan keyakinan bahwa mereka tidak akan mudah tertangkap.
Penerapan Teori GONE dalam Kasus Korupsi di Indonesia: Kasus Korupsi E-KTP
     Indonesia memiliki sejarah panjang terkait kasus-kasus korupsi yang melibatkan berbagai kalangan, mulai dari pejabat tinggi hingga pengusaha. Menurut Sjahruddin (2020), korupsi di Indonesia sering terjadi akibat kombinasi antara keserakahan individu dan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap proses administrasi dan keuangan negara. Penerapan teori GONE dalam konteks Indonesia membantu mengidentifikasi akar penyebab korupsi yang spesifik sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di negara ini.
     Kasus korupsi E-KTP merupakan contoh nyata bagaimana keempat faktor dalam teori GONE berkontribusi terhadap terjadinya korupsi. Keserakahan pejabat yang ingin memperkaya diri, lemahnya sistem pengawasan yang memberikan peluang, kebutuhan akan dana politik, serta rendahnya risiko pengungkapan kasus sebelum investigasi KPK dimulai menjadi faktor utama dalam skandal ini.
     Menurut laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (2018), kasus ini melibatkan banyak pejabat negara dan menyebabkan kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun. Berikut adalah beberapa fakta dari kasus ini dan bagaimana dampak yang terjadi:
- Kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun.
- Pelaku utama: Setya Novanto (mantan Ketua DPR), Irman dan Sugiharto (pejabat Kemendagri), Andi Narogong (pengusaha).
- Modus: Penggelembungan anggaran proyek pengadaan KTP elektronik yang melibatkan sejumlah pejabat dan politikus.
- Masyarakat dirugikan karena proyek E-KTP mengalami keterlambatan dan banyak warga tidak mendapatkan dokumen identitas tepat waktu.
- Membuat kepercayaan publik menurun menyebabkan masyarakat semakin skeptis terhadap integritas pejabat negara.
Bagaimana Kasus Ini Dapat Terjadi?
     Menurut Rinaldi (2019), korupsi dalam proyek E-KTP terjadi karena adanya kolusi antara pemerintah dan pihak swasta, serta lemahnya sistem pengawasan dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Kasus ini juga menunjukkan bagaimana faktor-faktor dalam teori GONE saling berkaitan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi praktik korupsi.
     Kasus ini bermula pada tahun 2010 ketika Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengajukan proyek pengadaan E-KTP dengan anggaran sebesar Rp5,9 triliun (Setiyono & McLeod, 2010). Namun, sejak tahap perencanaan, proyek ini telah dimanipulasi untuk menguntungkan sekelompok orang melalui penggelembungan anggaran, rekayasa tender, dan praktik suap (Rose-Ackerman, 1999) dengan runtutan kronologi dalam kasus ini sebagai berikut:
- 2010-2011: Penganggaran proyek disetujui oleh DPR RI, tetapi sudah ada indikasi kongkalikong antara pejabat Kemendagri, anggota DPR, dan pengusaha (Widoyoko, 2013).
- 2011-2012: Manipulasi tender dilakukan untuk memenangkan Konsorsium PNRI, yang terdiri dari beberapa perusahaan yang sudah ditentukan sebelumnya (KPK, 2018).
- 2012-2013: Dana proyek sebesar Rp2,3 triliun diselewengkan melalui penggelembungan harga dan suap kepada pejabat serta anggota DPR (Transparency International, 2020).
- 2014-2016: KPK mulai menyelidiki kasus ini setelah ditemukan banyaknya permasalahan dalam implementasi E-KTP (Mietzner, 2018).
- 2017-2020: Sejumlah pejabat ditetapkan sebagai tersangka dan dijatuhi hukuman, termasuk Setya Novanto, Irman, Sugiharto, dan Andi Narogong (KPK, 2019).
Faktor utama penyebab korupsi dalam proyek E-KTP di antaranya:
- Peluang yang terbuka lebar karena sistem pengawasan yang lemah sehingga membuat pejabat untuk menyalahgunakan wewenang tanpa takut ketahuan (Treisman, 2000).
- Jumlah dana yang besar seperti insentif yang tinggi mendorong pelaku untuk mengambil keuntungan pribadi (Shleifer & Vishny, 1993).
- Sebelum kasus ini terungkap, sistem hukum belum cukup efektif dalam mencegah tindakan korupsi serupa (minimnya sanksi dan kontrol) (McMullan, 1961).
- Adanya kerja sama antara oknum pemerintah dan pihak swasta (kolusi antara pejabat dan pengusaha) membuat tindakan korupsi lebih mudah terjadi (Jain, 2001).
- Kurangnya transparansi dalam pengelolaan proyek, proses tender yang tidak diawasi dengan baik membuka peluang untuk penggelembungan anggaran (Johnston, 2005).
Analisis dan Relevansinya dengan Teori GONE oleh Jack Bologna
     Kasus ini menunjukkan bagaimana faktor-faktor dalam teori GONE saling berkaitan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi praktik korupsi sebagaimana yang dijelaskan berikut.
1. Greed (Keserakahan)
- Dalam kasus E-KTP, pelaku utama seperti Setya Novanto dan pejabat Kemendagri terdorong oleh keinginan untuk memperkaya diri dengan mengambil bagian dari proyek bernilai triliunan rupiah (Hoffman & Patel, 2017).
- Keserakahan ini dipicu oleh gaya hidup mewah dan kebutuhan dana untuk kepentingan politik (Rose-Ackerman, 2001).
2. Opportunity (Kesempatan)
- Lemahnya sistem pengawasan dan transparansi dalam proyek pengadaan barang dan jasa memberikan peluang besar bagi para pelaku untuk melakukan manipulasi (Treisman, 2000).
- Minimnya sistem akuntabilitas internal di kementerian dan DPR turut memperbesar kesempatan untuk korupsi (Jain, 1998).
3. Need (Kebutuhan)
- Meskipun mayoritas pelaku memiliki posisi ekonomi yang baik, kebutuhan akan dana politik atau menjaga kekuasaan mendorong mereka untuk melakukan korupsi (Heywood, 2017).
- Beberapa aktor dalam kasus ini membutuhkan dana tambahan untuk membiayai kampanye politik dan mempertahankan posisinya di pemerintahan (Johnston, 2014).
4. Exposure (Paparan)
- Kurangnya deteksi dini dan lambannya penegakan hukum sebelum kasus ini terungkap memungkinkan korupsi terus berlangsung dalam jangka waktu yang lama (Klitgaard, 1988).
- Skandal ini baru terbongkar setelah KPK melakukan penyelidikan mendalam selama bertahun-tahun (Transparency International, 2019).
Bagaimana Pengaruh Faktor Penyebab Korupsi Terhadap Sikap Individu yang Disintegrasi dengan Melakukan Tindak Pidana Korupsi?
     Faktor penyebab korupsi memiliki pengaruh signifikan terhadap sikap individu yang mengalami disintegrasi sosial, yang pada akhirnya mendorong mereka untuk melakukan tindak pidana korupsi. Disintegrasi sosial mengacu pada hilangnya keterikatan individu terhadap norma, nilai, dan etika yang berlaku di masyarakat atau organisasi, yang menyebabkan pelaku merasa terpisah dari tanggung jawab moral.
Faktor-faktor penyebab korupsi berperan dalam membentuk sikap disintegrasi sosial melalui:
1. Melemahkan Ikatan Moral dan Etika
Pendidikan moral dan etika yang kurang kuat, baik dalam keluarga, institusi pendidikan, maupun lingkungan kerja, membuat individu lebih mudah tergoda untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Ketika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang tidak menanamkan prinsip integritas, mereka cenderung mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama.
2. Menciptakan Justifikasi atas Perilaku Menyimpang
Individu yang mengalami disintegrasi sosial sering kali mencari pembenaran atas tindakan mereka. Berbagai alasan, seperti rendahnya gaji, tekanan ekonomi, atau bahkan ketidakadilan dalam sistem birokrasi, digunakan untuk membenarkan tindakan koruptif yang mereka lakukan. Dalam banyak kasus, individu yang korupsi meyakini bahwa tindakan mereka hanyalah respons terhadap ketidakadilan yang lebih besar di dalam sistem. Mereka mungkin juga menganggap korupsi sebagai bagian dari mekanisme bertahan hidup dalam lingkungan yang sarat dengan praktik-praktik serupa.
3. Mengurangi Rasa Takut terhadap Konsekuensi Hukum
Ketidakefektifan sistem hukum dan penegakan keadilan turut mempercepat laju korupsi. Jika individu melihat bahwa banyak pelaku korupsi yang lolos dari hukuman atau hanya mendapatkan sanksi ringan, maka rasa takut terhadap konsekuensi hukum akan berkurang. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa melakukan korupsi bukanlah suatu tindakan yang berisiko tinggi. Lemahnya penegakan hukum juga memperlihatkan bahwa terdapat celah dalam sistem yang dapat dimanfaatkan oleh mereka yang ingin mengambil keuntungan secara tidak sah.
4. Memperkuat Budaya Permisif terhadap Korupsi
Dalam lingkungan di mana korupsi telah menjadi praktik yang umum dan diterima secara sosial, individu akan merasa bahwa tindakan tersebut adalah sesuatu yang wajar. Budaya permisif terhadap korupsi berkembang ketika masyarakat tidak lagi menganggap korupsi sebagai sesuatu yang buruk atau ketika terdapat toleransi tinggi terhadap tindakan semacam ini. Jika individu melihat bahwa orang-orang di sekitar mereka, termasuk atasan atau pejabat publik, melakukan korupsi tanpa konsekuensi berarti, maka mereka akan cenderung mengikuti pola yang sama.
5. Lingkungan yang Mendukung Praktik Korupsi
Lingkungan sosial dan birokrasi yang sarat dengan praktik korupsi juga menjadi faktor yang mempercepat disintegrasi sosial individu. Dalam beberapa organisasi, korupsi bahkan dianggap sebagai norma yang harus diikuti demi kelangsungan karier atau hubungan kerja yang harmonis. Individu yang awalnya memiliki integritas tinggi dapat tergoda untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut, terutama jika mereka merasa bahwa menolak untuk ikut serta justru akan merugikan posisi mereka.
6. Ketidakseimbangan antara Risiko dan Keuntungan
Ketika individu melihat bahwa keuntungan dari melakukan korupsi jauh lebih besar dibandingkan risiko yang mungkin mereka hadapi, maka kecenderungan untuk melakukan tindakan tersebut semakin besar. Jika mereka merasa bahwa peluang tertangkap sangat kecil dan hukuman yang diterima masih dapat ditoleransi, maka mereka akan menganggap korupsi sebagai strategi yang menguntungkan.
Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Berdasarkan Teori GONE
     Untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif, strategi yang diterapkan harus sesuai dengan faktor-faktor dalam teori GONE. Pertama, dalam mengatasi Greed, diperlukan peningkatan integritas pejabat publik melalui pendidikan etika dan penguatan budaya antikorupsi di semua lini pemerintahan. Kedua, dalam mengurangi Opportunity, diperlukan reformasi sistem pengadaan barang dan jasa agar lebih transparan, seperti penerapan e-procurement yang dapat mengurangi peluang manipulasi dalam proyek-proyek pemerintah. Ketiga, dalam menangani Need, penting untuk memastikan bahwa pejabat publik mendapatkan kompensasi yang layak, tetapi juga memperketat pengawasan terhadap pengeluaran mereka untuk mencegah penyalahgunaan dana publik. Terakhir, dalam meningkatkan Exposure, penegakan hukum harus diperkuat dengan meningkatkan kapasitas lembaga seperti KPK, serta memastikan bahwa mekanisme pelaporan dan perlindungan bagi whistleblower lebih efektif.
Kemudian untuk mengurangi korupsi di Indonesia, berbagai langkah strategis yang harus diterapkan seperti:
- Pemerintah harus menerapkan sistem digitalisasi dalam administrasi dan pengadaan proyek untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
- Penguatan lembaga pengawas seperti KPK, BPK, dan lembaga lain untuk mengawasi keuangan negara (Hadiprayitno, 2021).
- Penerapan hukuman maksimal bagi pelaku korupsi untuk memberikan efek jera (Transparency International, 2023).
- Memasukkan pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi (Putra, 2022).
- Perbaikan regulasi politik dengan memastikan bahwa pendanaan partai politik lebih transparan dan tidak bergantung pada dana ilegal (Sjahruddin, 2020).
Kesimpulan
     Kasus korupsi E-KTP merupakan contoh nyata bagaimana keempat faktor dalam Teori GONE berkontribusi terhadap terjadinya tindakan korupsi di Indonesia. Keserakahan pejabat untuk memperkaya diri, kesempatan yang terbuka akibat lemahnya pengawasan, kebutuhan akan dana politik atau gaya hidup, serta rendahnya risiko pengungkapan sebelum investigasi KPK dimulai, menjadi faktor utama dalam skandal ini. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya masalah individu tetapi juga dipengaruhi oleh sistem dan budaya yang ada dalam birokrasi serta politik di Indonesia.
     Teori GONE memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai faktor penyebab korupsi dan bagaimana faktor-faktor tersebut saling berinteraksi. Greed mendorong individu untuk mencari keuntungan maksimal, sementara Opportunity memberikan celah bagi mereka untuk melakukan penyimpangan. Need memperparah situasi dengan adanya tekanan ekonomi atau kebutuhan lain yang memicu tindakan korupsi. Sedangkan Exposure menunjukkan bahwa jika sistem pengawasan lemah, individu akan merasa lebih aman dalam melakukan tindakan korupsi tanpa takut terungkap.
     Faktor penyebab korupsi memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap individu yang mengalami disintegrasi sosial, yang pada akhirnya mendorong mereka untuk melakukan tindak pidana korupsi. Disintegrasi sosial melemahkan keterikatan individu terhadap nilai-nilai moral, menciptakan justifikasi atas tindakan menyimpang, mengurangi rasa takut terhadap konsekuensi hukum, serta memperkuat budaya permisif dalam masyarakat. Lingkungan yang mendukung praktik korupsi semakin mempercepat proses ini, sehingga individu semakin yakin bahwa tindakan mereka adalah sesuatu yang wajar dan menguntungkan.
     Untuk mencegah dan mengurangi praktik korupsi, berbagai langkah harus diterapkan secara konsisten dan sistematis. Pemerintah harus memperkuat sistem pengawasan dengan digitalisasi administrasi dan pengadaan proyek, meningkatkan kapasitas lembaga pengawas seperti KPK dan BPK, serta menerapkan hukuman yang lebih berat bagi koruptor agar menimbulkan efek jera. Selain itu, pendidikan antikorupsi harus ditanamkan sejak dini agar masyarakat memiliki pemahaman yang lebih baik tentang dampak negatif korupsi dan pentingnya menjaga integritas.
     Selain itu, reformasi politik juga perlu dilakukan untuk memastikan bahwa pendanaan partai politik lebih transparan dan tidak bergantung pada sumber dana ilegal. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan media massa dalam mengawasi kebijakan publik juga akan membantu dalam menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan akuntabel.
     Kemudian pelibatan teknologi dalam pengelolaan pemerintahan menjadi salah satu langkah inovatif untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Implementasi blockchain dalam sistem keuangan pemerintah, misalnya, dapat membantu mencegah manipulasi data serta meningkatkan keterbukaan dalam pengelolaan anggaran negara.
     Jika strategi ini diterapkan secara efektif, maka harapan untuk mengurangi korupsi di Indonesia dapat terwujud. Pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif dan kemauan politik yang kuat untuk menciptakan pemerintahan yang lebih transparan, adil, dan bebas dari korupsi.
Referensi:
- ACCH KPK. (2021). Strategi Pencegahan Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
- Bologna, J. (1993). Corporate Fraud: The Danger from Within. Butterworth-Heinemann.
- Bologna, J. (1993). Fraud Prevention and Detection: The GONE Theory.
- Heywood, P. (2017). Routledge Handbook of Political Corruption. Routledge.
- Jain, A. K. (1998). Corruption: A Review. Journal of Economic Surveys, 15(1), 71-121.
- Kemenkeu RI. (2021). Sadar APBN dan Pencegahan Korupsi. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
- Klitgaard, R. (1988). Controlling Corruption. University of California Press.
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2023). Laporan Penanganan Kasus e-KTP.
- Lambsdorff, J. G. (2007). The Institutional Economics of Corruption and Reform: Theory, Evidence, and Policy. Cambridge University Press.
- Mietzner, M. (2018). Money, Power, and Ideology: Political Parties in Post-Suharto Indonesia. NUS Press.
- Nadapdap, B. (2014). Korupsi Belum Ada Matinya. Jakarta: Permata Aksara.
- Nurdjana, I. (2010). Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
- Pope, J. (2003). Confronting Corruption: The Elements of a National Integrity System. Transparency International.
- Rose-Ackerman, S. (1999). Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform. Cambridge University Press.
- Tanzi, V. (1998). Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and Cures. IMF Staff Papers, 45(4), 559-594.
- Transparency International. (2019). Global Corruption Report. Routledge.
- Transparency International. (2022). Corruption Perceptions Index Report.
- Treisman, D. (2000). The Causes of Corruption: A Cross-National Study. Journal of Public Economics, 76(3), 399-457.
- Widoyoko, D. (2013). Mengungkap Kejahatan Korupsi. Gramedia.
- Wijaya, D. (2014). Pendidikan Antikorupsi: untuk Sekolah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Indeks.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI