5. Lingkungan yang Mendukung Praktik Korupsi
Lingkungan sosial dan birokrasi yang sarat dengan praktik korupsi juga menjadi faktor yang mempercepat disintegrasi sosial individu. Dalam beberapa organisasi, korupsi bahkan dianggap sebagai norma yang harus diikuti demi kelangsungan karier atau hubungan kerja yang harmonis. Individu yang awalnya memiliki integritas tinggi dapat tergoda untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut, terutama jika mereka merasa bahwa menolak untuk ikut serta justru akan merugikan posisi mereka.
6. Ketidakseimbangan antara Risiko dan Keuntungan
Ketika individu melihat bahwa keuntungan dari melakukan korupsi jauh lebih besar dibandingkan risiko yang mungkin mereka hadapi, maka kecenderungan untuk melakukan tindakan tersebut semakin besar. Jika mereka merasa bahwa peluang tertangkap sangat kecil dan hukuman yang diterima masih dapat ditoleransi, maka mereka akan menganggap korupsi sebagai strategi yang menguntungkan.
Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Berdasarkan Teori GONE
     Untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif, strategi yang diterapkan harus sesuai dengan faktor-faktor dalam teori GONE. Pertama, dalam mengatasi Greed, diperlukan peningkatan integritas pejabat publik melalui pendidikan etika dan penguatan budaya antikorupsi di semua lini pemerintahan. Kedua, dalam mengurangi Opportunity, diperlukan reformasi sistem pengadaan barang dan jasa agar lebih transparan, seperti penerapan e-procurement yang dapat mengurangi peluang manipulasi dalam proyek-proyek pemerintah. Ketiga, dalam menangani Need, penting untuk memastikan bahwa pejabat publik mendapatkan kompensasi yang layak, tetapi juga memperketat pengawasan terhadap pengeluaran mereka untuk mencegah penyalahgunaan dana publik. Terakhir, dalam meningkatkan Exposure, penegakan hukum harus diperkuat dengan meningkatkan kapasitas lembaga seperti KPK, serta memastikan bahwa mekanisme pelaporan dan perlindungan bagi whistleblower lebih efektif.
Kemudian untuk mengurangi korupsi di Indonesia, berbagai langkah strategis yang harus diterapkan seperti:
- Pemerintah harus menerapkan sistem digitalisasi dalam administrasi dan pengadaan proyek untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
- Penguatan lembaga pengawas seperti KPK, BPK, dan lembaga lain untuk mengawasi keuangan negara (Hadiprayitno, 2021).
- Penerapan hukuman maksimal bagi pelaku korupsi untuk memberikan efek jera (Transparency International, 2023).
- Memasukkan pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi (Putra, 2022).
- Perbaikan regulasi politik dengan memastikan bahwa pendanaan partai politik lebih transparan dan tidak bergantung pada dana ilegal (Sjahruddin, 2020).
Kesimpulan
     Kasus korupsi E-KTP merupakan contoh nyata bagaimana keempat faktor dalam Teori GONE berkontribusi terhadap terjadinya tindakan korupsi di Indonesia. Keserakahan pejabat untuk memperkaya diri, kesempatan yang terbuka akibat lemahnya pengawasan, kebutuhan akan dana politik atau gaya hidup, serta rendahnya risiko pengungkapan sebelum investigasi KPK dimulai, menjadi faktor utama dalam skandal ini. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya masalah individu tetapi juga dipengaruhi oleh sistem dan budaya yang ada dalam birokrasi serta politik di Indonesia.
     Teori GONE memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai faktor penyebab korupsi dan bagaimana faktor-faktor tersebut saling berinteraksi. Greed mendorong individu untuk mencari keuntungan maksimal, sementara Opportunity memberikan celah bagi mereka untuk melakukan penyimpangan. Need memperparah situasi dengan adanya tekanan ekonomi atau kebutuhan lain yang memicu tindakan korupsi. Sedangkan Exposure menunjukkan bahwa jika sistem pengawasan lemah, individu akan merasa lebih aman dalam melakukan tindakan korupsi tanpa takut terungkap.
     Faktor penyebab korupsi memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap individu yang mengalami disintegrasi sosial, yang pada akhirnya mendorong mereka untuk melakukan tindak pidana korupsi. Disintegrasi sosial melemahkan keterikatan individu terhadap nilai-nilai moral, menciptakan justifikasi atas tindakan menyimpang, mengurangi rasa takut terhadap konsekuensi hukum, serta memperkuat budaya permisif dalam masyarakat. Lingkungan yang mendukung praktik korupsi semakin mempercepat proses ini, sehingga individu semakin yakin bahwa tindakan mereka adalah sesuatu yang wajar dan menguntungkan.
     Untuk mencegah dan mengurangi praktik korupsi, berbagai langkah harus diterapkan secara konsisten dan sistematis. Pemerintah harus memperkuat sistem pengawasan dengan digitalisasi administrasi dan pengadaan proyek, meningkatkan kapasitas lembaga pengawas seperti KPK dan BPK, serta menerapkan hukuman yang lebih berat bagi koruptor agar menimbulkan efek jera. Selain itu, pendidikan antikorupsi harus ditanamkan sejak dini agar masyarakat memiliki pemahaman yang lebih baik tentang dampak negatif korupsi dan pentingnya menjaga integritas.
     Selain itu, reformasi politik juga perlu dilakukan untuk memastikan bahwa pendanaan partai politik lebih transparan dan tidak bergantung pada sumber dana ilegal. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan media massa dalam mengawasi kebijakan publik juga akan membantu dalam menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan akuntabel.
     Kemudian pelibatan teknologi dalam pengelolaan pemerintahan menjadi salah satu langkah inovatif untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Implementasi blockchain dalam sistem keuangan pemerintah, misalnya, dapat membantu mencegah manipulasi data serta meningkatkan keterbukaan dalam pengelolaan anggaran negara.
     Jika strategi ini diterapkan secara efektif, maka harapan untuk mengurangi korupsi di Indonesia dapat terwujud. Pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif dan kemauan politik yang kuat untuk menciptakan pemerintahan yang lebih transparan, adil, dan bebas dari korupsi.
Referensi:
- ACCH KPK. (2021). Strategi Pencegahan Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
- Bologna, J. (1993). Corporate Fraud: The Danger from Within. Butterworth-Heinemann.
- Bologna, J. (1993). Fraud Prevention and Detection: The GONE Theory.
- Heywood, P. (2017). Routledge Handbook of Political Corruption. Routledge.
- Jain, A. K. (1998). Corruption: A Review. Journal of Economic Surveys, 15(1), 71-121.
- Kemenkeu RI. (2021). Sadar APBN dan Pencegahan Korupsi. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
- Klitgaard, R. (1988). Controlling Corruption. University of California Press.
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2023). Laporan Penanganan Kasus e-KTP.
- Lambsdorff, J. G. (2007). The Institutional Economics of Corruption and Reform: Theory, Evidence, and Policy. Cambridge University Press.
- Mietzner, M. (2018). Money, Power, and Ideology: Political Parties in Post-Suharto Indonesia. NUS Press.
- Nadapdap, B. (2014). Korupsi Belum Ada Matinya. Jakarta: Permata Aksara.
- Nurdjana, I. (2010). Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
- Pope, J. (2003). Confronting Corruption: The Elements of a National Integrity System. Transparency International.
- Rose-Ackerman, S. (1999). Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform. Cambridge University Press.
- Tanzi, V. (1998). Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and Cures. IMF Staff Papers, 45(4), 559-594.
- Transparency International. (2019). Global Corruption Report. Routledge.
- Transparency International. (2022). Corruption Perceptions Index Report.
- Treisman, D. (2000). The Causes of Corruption: A Cross-National Study. Journal of Public Economics, 76(3), 399-457.
- Widoyoko, D. (2013). Mengungkap Kejahatan Korupsi. Gramedia.
- Wijaya, D. (2014). Pendidikan Antikorupsi: untuk Sekolah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Indeks.