Mohon tunggu...
AGNA ERNISA TIFANI
AGNA ERNISA TIFANI Mohon Tunggu... Mahasiswa

NIM: 41123110003 | Program Studi Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Mercu Buana | Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB | Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E, Ak., M.Si, CIFM, CIABV, CIABG

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kuis 10 - Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Jack Bologna

18 Februari 2025   08:54 Diperbarui: 22 Februari 2025   22:10 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Bahan Teori Jack Bologna dan Robert Klitgaard Hal. 1 oleh Prof. Apollo)

          Greed atau keserakahan sering kali menjadi faktor dominan dalam kasus-kasus korupsi di Indonesia. Pejabat dan pengusaha yang memiliki akses terhadap dana proyek cenderung terdorong untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya, meskipun mereka telah memiliki kekayaan yang mencukupi. Dalam kasus E-KTP, misalnya, pejabat tinggi seperti Setya Novanto tetap melakukan korupsi meskipun telah berada dalam posisi ekonomi yang nyaman (Hoffman & Patel, 2017). Keserakahan ini menjadi pemicu utama di banyak kasus korupsi lainnya yang melibatkan elite politik dan pejabat pemerintahan.

          Opportunity atau kesempatan untuk melakukan korupsi semakin besar ketika sistem pengawasan dan regulasi di Indonesia masih lemah. Banyak kasus korupsi terjadi akibat lemahnya mekanisme pengendalian internal dalam birokrasi dan legislatif. Dalam proyek pengadaan barang dan jasa, celah dalam proses tender sering kali dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengatur pemenang proyek sebelum proses lelang dilakukan (Treisman, 2000). Akibatnya, transparansi dalam pengelolaan anggaran publik menjadi terabaikan dan memperbesar peluang terjadinya tindak korupsi.

          Need atau kebutuhan juga berperan sebagai faktor pendorong dalam tindakan korupsi. Meskipun mayoritas pelaku korupsi memiliki kondisi ekonomi yang baik, mereka tetap membutuhkan dana tambahan untuk berbagai kepentingan, seperti membiayai kampanye politik, mempertahankan kekuasaan, atau memenuhi gaya hidup mewah (Heywood, 2017). Dalam kasus E-KTP, beberapa aktor terlibat dalam korupsi dengan tujuan memperoleh dana politik yang besar untuk mempertahankan pengaruh mereka dalam pemerintahan (Johnston, 2014).

          Exposure atau paparan terhadap risiko terungkapnya tindakan korupsi menjadi faktor penentu dalam pengambilan keputusan seseorang untuk melakukan korupsi. Jika mekanisme pengawasan lemah dan penegakan hukum lambat, pelaku akan merasa lebih aman dalam melakukan korupsi. Dalam kasus E-KTP, investigasi baru dimulai setelah skandal ini berlangsung bertahun-tahun tanpa adanya deteksi dini (Klitgaard, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa minimnya pengawasan yang efektif memperbesar kemungkinan pejabat negara melakukan tindakan korupsi dengan keyakinan bahwa mereka tidak akan mudah tertangkap.

Penerapan Teori GONE dalam Kasus Korupsi di Indonesia: Kasus Korupsi E-KTP

Tersangka kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, 21 November 2017  (Sumber: Tempo Jakarta)
Tersangka kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, 21 November 2017  (Sumber: Tempo Jakarta)

          Indonesia memiliki sejarah panjang terkait kasus-kasus korupsi yang melibatkan berbagai kalangan, mulai dari pejabat tinggi hingga pengusaha. Menurut Sjahruddin (2020), korupsi di Indonesia sering terjadi akibat kombinasi antara keserakahan individu dan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap proses administrasi dan keuangan negara. Penerapan teori GONE dalam konteks Indonesia membantu mengidentifikasi akar penyebab korupsi yang spesifik sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di negara ini.

          Kasus korupsi E-KTP merupakan contoh nyata bagaimana keempat faktor dalam teori GONE berkontribusi terhadap terjadinya korupsi. Keserakahan pejabat yang ingin memperkaya diri, lemahnya sistem pengawasan yang memberikan peluang, kebutuhan akan dana politik, serta rendahnya risiko pengungkapan kasus sebelum investigasi KPK dimulai menjadi faktor utama dalam skandal ini.

          Menurut laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (2018), kasus ini melibatkan banyak pejabat negara dan menyebabkan kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun. Berikut adalah beberapa fakta dari kasus ini dan bagaimana dampak yang terjadi:

  • Kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun.
  • Pelaku utama: Setya Novanto (mantan Ketua DPR), Irman dan Sugiharto (pejabat Kemendagri), Andi Narogong (pengusaha).
  • Modus: Penggelembungan anggaran proyek pengadaan KTP elektronik yang melibatkan sejumlah pejabat dan politikus.
  • Masyarakat dirugikan karena proyek E-KTP mengalami keterlambatan dan banyak warga tidak mendapatkan dokumen identitas tepat waktu.
  • Membuat kepercayaan publik menurun menyebabkan masyarakat semakin skeptis terhadap integritas pejabat negara.

Bagaimana Kasus Ini Dapat Terjadi?

          Menurut Rinaldi (2019), korupsi dalam proyek E-KTP terjadi karena adanya kolusi antara pemerintah dan pihak swasta, serta lemahnya sistem pengawasan dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Kasus ini juga menunjukkan bagaimana faktor-faktor dalam teori GONE saling berkaitan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi praktik korupsi.

          Kasus ini bermula pada tahun 2010 ketika Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengajukan proyek pengadaan E-KTP dengan anggaran sebesar Rp5,9 triliun (Setiyono & McLeod, 2010). Namun, sejak tahap perencanaan, proyek ini telah dimanipulasi untuk menguntungkan sekelompok orang melalui penggelembungan anggaran, rekayasa tender, dan praktik suap (Rose-Ackerman, 1999) dengan runtutan kronologi dalam kasus ini sebagai berikut:

  • 2010-2011: Penganggaran proyek disetujui oleh DPR RI, tetapi sudah ada indikasi kongkalikong antara pejabat Kemendagri, anggota DPR, dan pengusaha (Widoyoko, 2013).
  • 2011-2012: Manipulasi tender dilakukan untuk memenangkan Konsorsium PNRI, yang terdiri dari beberapa perusahaan yang sudah ditentukan sebelumnya (KPK, 2018).
  • 2012-2013: Dana proyek sebesar Rp2,3 triliun diselewengkan melalui penggelembungan harga dan suap kepada pejabat serta anggota DPR (Transparency International, 2020).
  • 2014-2016: KPK mulai menyelidiki kasus ini setelah ditemukan banyaknya permasalahan dalam implementasi E-KTP (Mietzner, 2018).
  • 2017-2020: Sejumlah pejabat ditetapkan sebagai tersangka dan dijatuhi hukuman, termasuk Setya Novanto, Irman, Sugiharto, dan Andi Narogong (KPK, 2019).

Faktor utama penyebab korupsi dalam proyek E-KTP di antaranya:

  • Peluang yang terbuka lebar karena sistem pengawasan yang lemah sehingga membuat pejabat untuk menyalahgunakan wewenang tanpa takut ketahuan (Treisman, 2000).
  • Jumlah dana yang besar seperti insentif yang tinggi mendorong pelaku untuk mengambil keuntungan pribadi (Shleifer & Vishny, 1993).
  • Sebelum kasus ini terungkap, sistem hukum belum cukup efektif dalam mencegah tindakan korupsi serupa (minimnya sanksi dan kontrol) (McMullan, 1961).
  • Adanya kerja sama antara oknum pemerintah dan pihak swasta (kolusi antara pejabat dan pengusaha) membuat tindakan korupsi lebih mudah terjadi (Jain, 2001).
  • Kurangnya transparansi dalam pengelolaan proyek, proses tender yang tidak diawasi dengan baik membuka peluang untuk penggelembungan anggaran (Johnston, 2005).

Analisis dan Relevansinya dengan Teori GONE oleh Jack Bologna

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun