Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Trump atau Xi Jinping, pada Siapa Jokowi "Berkiblat" Atasi Pandemi Covid-19?

20 Mei 2020   10:14 Diperbarui: 20 Mei 2020   10:10 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

China yang dikomandoi Presiden Xi Jinping terlihat begitu total dalam memerangi pandemi COVID-19 di negaranya.  Wuhan, kota yang disebut-sebut sebagai tempat awal mula virus ini bermula menjadi kota pertama yang "memperkenalkan" lockdown dalam menangkal persebaran COVID-19. Kontrol penuh diambil alih pemerintah pusat dengan pengerahan segala sumber daya yang ada. 

Mulai dari membangun rumah sakit baru dalam waktu singkat, hingga menutup total aktivitas ekonomi satu kawasan. Tak ada kompromi bagi setiap orang untuk berkeliaran keluar rumah. Semua dikunci rapat di rumah masing-masing, dan hanya sesekali saja diperbolehkan keluar untuk memenuhi kebutuhan makanan. Itupun tidak frontal dilakukan. Sehingga Wuhan yang terkenal sebagai kota penting itu seketika menjadi sunyi laksana kota mati. Total. Itulah cara China, cara Xi Jinping.

Beberapa waktu setelah lockdown pertama dilakukan, Wuhan kembali memulai kehidupan barunya. Pada saat kota dan negara lain kelimpungan diterjang COVID-19, ekonomi di Wuhan dan daratan China mulai berangsur normal. 

Meski serangan gelombang kedua COVID-19 terus mengemuka dan mengancam China, hal itu sepertinya tidak menggoyahkan mereka untuk tetap memerangi pandemi secara totalitas. 

Pemeriksaan ketat dilakukan di segenap penjuru negeri untuk memeriksa manusia yang keluar masuk negara tersebut. Birokrasinya bisa bikin orang geleng-geleng kepala. Tapi hal itu tidak mereka pedulikan asalkan ancaman gelombang kedua bisa ditangkal.

Totalitas China memang luar biasa. Saat ditemukan adanya penderita baru COVID-19 di Wuhan, langkah dramatis dilakukan. Seluruh penduduk Wuhan yang sekitar 11 juta jiwa itu harus dites. Menggunakan tes nucleus acid, bukan rapid test. Dibandingkan rapid test yang kadang hasilnya tidak akurat, nucleus acid memberikan hasil pasti. Positif atau negatif. Xi Jinping benar-benar mengomandoi China dengan penuh ketegasan memberantas COVID-19.

Sangat berbeda dengan "kompatriot"nya Donald Trump, Presiden Amerika Serikat (AS), yang pada awal pandemi ini mengemuka masih meremehkan virus COVID-19 sebagai "flu biasa". AS bersantai, demikian juga presidennya. 

Saat pandemi semakin meluas dan menjangkiti warga AS, mulailah mereka kebakaran jenggot. Menerapkan kebijakan lockdown serupa China tapi hasilnya tak kunjung menjadikan situasi membaik. 

Pada akhirnya pembatasan sosial kembali dilonggarkan sembari meneriakkan tudingan sana sini kepada sang rival, China. Bahkan sang presiden terkesan halu dengan beberapa pernyataannya. Hingga kemudian berbuntut pada aspek lain seperti penghentian dana ke WHO dan memanaskan tensi perang dagang dengan China yang sempat mereda. 

Trump semakin kehilangan fokus karena ia mendekati periode pemilihan umum presiden Amerika Serikat November 2020 mendatang. Seiring jumlah korban yang terus bertambah, popularitas Trump pun mengalami degradasi. Oleh karena itu ia harus melakukan langkah dramatis agar tetap bisa terpilih pada pemilihan mendatang.

Gagasan perang pun mengemuka. Bukan sebatas perang dagang seperti sebelum-sebelumnya, tetapi sudah menjurus pada pertempuran fisik. Membuat dunia semakin berada dalam ketidakpastian. 

Menanggapi ancaman mengintai negara mereka, salah seorang pejabat China memberikan pernyataan bahwa mereka bisa menghancurkan Benua Amerika dalam sekejap menggunakan rudal antarbenuanya. Semua karena "ulah" Trump yang telah salah langkah diawal dan berbuntut penyangkalan pada langkah-langkahnya selanjutnya.

"Kiblat" Jokowi

Menilik situasi Indonesia, adakah kita menemukan kesamaan didalamnya? Kita tentu masih ingat bagaimana sikap pemerintah pusat dalam menanggapi awal-awal penyebaran pandemi COVID-19 di Indonesia. 

Katanya, Indonesia kebal virus corona sampai-sampai pakar dari Universitas Harvard saja ditantangin. Saran dari Anies Baswedan yang khawatir dengan potensi virus tersebut menyerang daerahnya untuk mulai mengadakan tes diabaikan. Indonesia masih baik-baik saja. Pandangannya mirip sekali dengan yang dimiliki Donald Trump dan Amerika-nya.

Saat pasien "pertama" diumumkan dan disusul dengan korban-korban selanjutnya, pemerintah merasa itu bukan alasan untuk melakukan lockdown. Lockdown adalah kewenangan pemerintah pusat. Tidak boleh ada pemerintah daerah yang mendahului kewenangan pusat. 

Pendirian kukuh pemerintah terus berlanjut biarpun kasus terus bertambah. Hanya anjuran social distancing yang dilakukan. Ketika desakan lockdown terus menguat, pemerintah melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru mengambil langkah berbeda. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB bukan lockdown, tapi lebih kepada lockdown terbatas atau mengalami modifikasi.

Belakangan ini AS dengan komando Donald Trump menyatakan bahwa karantina wilayah akan dilonggarkan. Biar ekonomi tetap bisa berjalan. Meski kontroversi menyeruak mengingat jumlah kasus yang terus bertambah hal itu sepertinya tidak digubris sang presiden. 

Tidakkah ada "potensi" kemiripan dengan wacana pelonggaran PSBB baru-baru ini? Protokol penanggulangan COVID-19 di Indonesia memang terkesan berbeda dengan yang dilakukan oleh banyak negara, utamanya China. Mungkin karena kondisi ekonomi kita yang masih berbeda jauh. 

Presiden Jokowi sebenarnya "mengadopsi" pendekatan pemimpin negara mana dalam rangka menanggulangi COVID-19? Donald Trump-kah? Xi Jinping-kah? atau siapa? Barangkali presiden kita memiliki caranya sendiri. 

Cara "ala" Jokowi dalam melawan COVID-19. Pendekatan dengan "kearifan lokal" yang mengatasi masalah dengan cara damai. Berdamai dengan virus. Tapi, apapun pendekatan yang dipakai dan siapapun yang menjadi "kiblat" Presiden Jokowi dalam merumuskan kebijakannya semoga tetap bisa membuahkan hasil terbaik dalam menuntaskan pandemi COVID-19 di Indonesia.

Sebenarnya bukan kepada siapa dan kemana Presiden Jokowi harus berkiblat, karena yang terpenting adalah bagaimana agar semua masalah akibat COVID-19 bisa dituntaskan secara efektif dan efisien. Perkara prosesnya terserah pemerintah, yang penting adalah hasilnya. Mengikuti cara Xi Jinping silahkan, meniru Donald Trump juga boleh-boleh saja. 

Syaratnya satu, pandemi COVID-19 bisa dituntaskan. Jangan memunculkan alasan belum adanya pemimpin dunia yang mampu mengatasi pandemi COVID-19 di negaranya lantas kemudian itu dijadikan tameng melindungi diri. Justru itulah kesempatan kita untuk menjadi yang terdepan dalam penanggulangan masalah.

Salam hangat,

Agil S Habib 

Referensi :

[1]; [2]; [3]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun