Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perundungan Quaden Bayles, Potret "Tirani Mayoritas" di Ruang Publik

24 Februari 2020   07:44 Diperbarui: 24 Februari 2020   10:04 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Quaden Bayles dan ibunya, Yarraka Bayles. Quaden mengalami perundungan karena kondisi fisiknya yang memiliki kelainan dwarfisme.| Sumber: Daily Mail

Barangkali orang-orang seperti Ucok Baba atau Daus Mini ketika sebelum meraih popularitas seperti sekarang juga mengalami situasi serupa. Kondisi fisik mereka "menarik" minat orang-orang yang tidak bersimpati untuk mencemoohnya. 

Namun ketegaran mereka pada akhirnya berbuah manis seiring popularitas dan kesuksesan yang mereka raih.

Kalau melihat dalam konteks yang lebih luas, memiliki fisik yang "istimewa" memang cenderung menjadi pusat perhatian. Bukan hanya kondisi fisik seperti yang dialami Quaden, Ucok Baba, atau Daus Mini, tetapi memiliki warna kulit gelap diantara sekumpulan orang berkulit putih pun juga berpotensi menjadi sasaran ejek. 

Mario Balotelli, Patrick Evra, Moussa Marega, dan beberapa pemain lain adalah contoh dari sosok-sosok berkulit gelap yang pernah menjadi sasaran rasis suporter kulit putih di Eropa. 

Menjadi minoritas diantara para mayoritas yang terlalu arogan dengan "ke-mayoritas-annya" memang seringkali berjalan tidak menyenangkan. Sebuah potret tentang tirani mayoritas.

Mungkin ada banyak motivasi yang melatarbelakangi seorang perundung untuk menghina orang lain dengan kondisi fisik berbeda. Pertama, kesombongan memandang diri sendiri lebih tinggi dari orang lain dan menganggap orang lain rendah. 

Padahal semua orang memiliki derajat yang sama dihadapan Sang Pencipta. Hanya kualitas takwa saja yang membedakan, bukan kondisi fisiknya.

Kedua, berada dan menjadi bagian dari kelompok mayoritas seringkali membuat kita pongah dan berlaku semena-mena. Bahwa mereka yang sedikit dan berbeda dari kita hanyalah sekumpulan orang yang tidak layak untuk diapresiasi atau dihargai. 

Anggapan salah seperti inilah yang membuat perundungan seakan menjadi sesuatu yang "abadi". Bayangkan bagaimana jika sesuatu yang saat ini dianggap "normal", tiba-tiba berubah 180 derajat. 

Ibarat orang berfisik proporsional berada diantara kumpulan besar orang berfisik "cebol". Maka siapa yang dinilai normal pada situasi ini?

Seperti halnya Quaden yang di-bully oleh teman sekolahnya karena kondisi fisik yang ia miliki, karena ia berada diantara sekumpulan orang-orang yang menganggap kondisi fisik merekalah yang normal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun