Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perundungan Quaden Bayles, Potret "Tirani Mayoritas" di Ruang Publik

24 Februari 2020   07:44 Diperbarui: 24 Februari 2020   10:04 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Quaden Bayles dan ibunya, Yarraka Bayles. Quaden mengalami perundungan karena kondisi fisiknya yang memiliki kelainan dwarfisme.| Sumber: Daily Mail

Quaden Bayles, beberapa hari terakhir ini namanya cukup ramai dibicarakan oleh para netizen. Quaden adalah seorang bocah Australia berusia 9 tahun yang diejek kondisi fisiknya oleh teman-temannya. 

Akibat dari perundungan tersebut Quaden sampai mengatakan kepada ibunya bahwa ia ingin bunuh diri. 

Seorang netizen pem-bully bahkan membuat suatu postingan viral yang mengatakan bahwa Quaden sebenarnya adalah "remaja" berusia 18 tahun. 

Sang netizen menuding Quaden tengah melakukan pembohongan publik dengan "memanfaatkan" situasi dirinya guna meraup donasi dari orang-orang yang menaruh iba terhadapnya. 

Tudingan tersebut pun akhirnya juga banyak disangkal oleh netizen lain yang respek terhadap kehidupan Quaden. Salah satunya yaitu dukungan dari aktor pemeran Wolverine, Hugh Jackman.

Quaden adalah seorang bocah yang mengalami Achondroplasia dwarfism, sebuah kelainan bawaan yang membuat tubuh pengidapnya terlihat kerdil dan tidak proporsional. 

Kondisi fisik seperti itulah yang akhirnya membuat Quaden sering mengalami perundungan. Mengutip dari laman alodokter.com, beberapa ciri dari dwarfisme antara lain:

  • Tinggi badan pada penderita yang sudah dewasa mencapai 90-120 cm saja.
  • Tingkat pertumbuhan pada masa kanak-kanak berlangsung lebih lambat, yaitu sepertiga dibawah standar.
  • Ukuran kepala terlihat besar dan dahi menonjol
  • Tulang pipi rata.
  • Jari tangan dan kaki pendek
  • Tungkai berbentuk "O".
  • Leher yang pendek.
  • Dan lain-lain.

Dwarfisme sendiri dikategorikan menjadi dua, yaitu dwarfisme proporsional dan disproporsional. Untuk dwarfisme proporsional pada umumnya disebabkan oleh kurangnya hormon pertumbuhan. Sedangkan untuk dwarfisme disproporsional disebabkan oleh achondroplasia atau penyakit genetik. 

Quaden Bayles, bocah pengidap dwarfisme yang di-bully oleh teman sekolahnya | Sumber gambar : seleb.tempo.co
Quaden Bayles, bocah pengidap dwarfisme yang di-bully oleh teman sekolahnya | Sumber gambar : seleb.tempo.co
Melihat dari definisi penyakit ini, kita seharusnya merasa kasihan dan berempati terhadap situasi yang dialami oleh para penyandang penyakit ini. Bukan malah memberikan perlakuan tidak menyenangkan seperti melakukan bully atau perundungan.

Entah apa sebenarnya yang membuat seseorang merasa "tertarik" untuk menghina orang lain, mencemooh kondisi fisik seseorang, serta mengejek diri seseorang yang berbeda dari kebanyakan orang lainnya. Keuntungan apa yang mereka peroleh dengan aksinya tersebut?

Apakah dengan membuat seseorang berkelainan fisik mengalami depresi adalah suatu keberhasilan yang bisa dibanggakan? Seperti halnya para pelaku perundungan yang membuat Quaden sampai ingin mengakhiri hidupnya.

Barangkali orang-orang seperti Ucok Baba atau Daus Mini ketika sebelum meraih popularitas seperti sekarang juga mengalami situasi serupa. Kondisi fisik mereka "menarik" minat orang-orang yang tidak bersimpati untuk mencemoohnya. 

Namun ketegaran mereka pada akhirnya berbuah manis seiring popularitas dan kesuksesan yang mereka raih.

Kalau melihat dalam konteks yang lebih luas, memiliki fisik yang "istimewa" memang cenderung menjadi pusat perhatian. Bukan hanya kondisi fisik seperti yang dialami Quaden, Ucok Baba, atau Daus Mini, tetapi memiliki warna kulit gelap diantara sekumpulan orang berkulit putih pun juga berpotensi menjadi sasaran ejek. 

Mario Balotelli, Patrick Evra, Moussa Marega, dan beberapa pemain lain adalah contoh dari sosok-sosok berkulit gelap yang pernah menjadi sasaran rasis suporter kulit putih di Eropa. 

Menjadi minoritas diantara para mayoritas yang terlalu arogan dengan "ke-mayoritas-annya" memang seringkali berjalan tidak menyenangkan. Sebuah potret tentang tirani mayoritas.

Mungkin ada banyak motivasi yang melatarbelakangi seorang perundung untuk menghina orang lain dengan kondisi fisik berbeda. Pertama, kesombongan memandang diri sendiri lebih tinggi dari orang lain dan menganggap orang lain rendah. 

Padahal semua orang memiliki derajat yang sama dihadapan Sang Pencipta. Hanya kualitas takwa saja yang membedakan, bukan kondisi fisiknya.

Kedua, berada dan menjadi bagian dari kelompok mayoritas seringkali membuat kita pongah dan berlaku semena-mena. Bahwa mereka yang sedikit dan berbeda dari kita hanyalah sekumpulan orang yang tidak layak untuk diapresiasi atau dihargai. 

Anggapan salah seperti inilah yang membuat perundungan seakan menjadi sesuatu yang "abadi". Bayangkan bagaimana jika sesuatu yang saat ini dianggap "normal", tiba-tiba berubah 180 derajat. 

Ibarat orang berfisik proporsional berada diantara kumpulan besar orang berfisik "cebol". Maka siapa yang dinilai normal pada situasi ini?

Seperti halnya Quaden yang di-bully oleh teman sekolahnya karena kondisi fisik yang ia miliki, karena ia berada diantara sekumpulan orang-orang yang menganggap kondisi fisik merekalah yang normal. 

Situasi akan berbeda jikalau Quaden berada diantara orang-orang dengan kondisi serupa dirinya atau diantara orang-orang yang memiliki sikap empati terhadap kondisi fisik yang ia miliki. 

Untuk bisa "menikmati" hidup dengan perbedaan fisik yang ada sebenarnya diperlukan dua hal, yaitu sekumpulan orang dengan kondisi yang sama atau sekumpulan orang dengan sikap empati dalam memandang mereka yang berfisik istimewa.

Tidak ada satu keuntungan pun yang bisa diraih dari perlakuan buruk ke orang lain melalui aksi perundungan. Tindakan seperti itu hanya lahir dari sikap iri dan sombong melihat situasi yang dialami oleh orang lain. 

"Penyakit" semacam ini tidak akan pernah membuat kita menjadi pribadi yang besar. Malah justru membuat kita terlihat rapuh dalam menyikapi perbedaan. Sayangnya, masih ada saja orang-orang yang berperilaku demikian.

Salam hangat,

Agil S Habib

Refferensi: [1]; [2]; [3]; [4]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun