Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menilik Keterwakilan Perempuan di DPR, Antara Kuantitas atau Kualitas

5 Oktober 2019   08:32 Diperbarui: 5 Oktober 2019   12:30 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para Perempuan Wakil Rakyat | Sumber gambar : ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Anggota DPR RI periode 2019-2024 telah resmi dilantik. Dari 575 kursi DPR yang tersedia, 118 kursi atau sekitar 21% diantaranya telah teralokasi untuk legislator perempuan. 

Meski jumlahnya belum memenuhi syarat yang ditentukan Undang-Undang, yaitu keterwakilan sebesar 30% perempuan, akan tetapi jumlah ini sebenarnya sudah mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa persentase keterwakilan perempuan di DPR pada tahun 2004-2009 hanya sekitar 11% saja dan meningkat pada periode 2009-2014 menjadi 18%. 

Sempat turun menjadi 17% pada periode 2014-2019 dan sekarang meningkat kembali menjadi 21% pada 2019-2024. Suara perempuan memang masih dibilang cukup minoritas di jajaran legislatif. 

Dorongan dari berbagai kalangan untuk meningkatkan partisipasi serta kontribusi perempuan dalam membangun kehidupan bangsa memang terus digalakkan. 

Namun kita tidak boleh terjebak dalam keinginan untuk meningkatkan kuantitas wakil rakyat dari kalangan perempuan tanpa dibarengi kualitas pribadi yang mumpuni.

Apabila hanya mengandalkan popularitas saja dalam rangka memikat suara rakyat untuk memilih perempuan sebagai wakilnya, hal itu tentu sangat tidak bijaksana. 

Bagaimanapun juga seorang wakil rakyat haruslah mereka yang cakap, bijak, serta tulus dalam memperjuangkan nasib rakyat yang diwakilinya. 

Hanya saja dengan dalih memenuhi tuntutan undang-undang terkait 30% keterwakilan perempuan, segala cara ditempuh oleh partai politik. 

Perempuan "jebolan" artis pun akhirnya dijadikan "sasaran" meraup suara rakyat. Padahal bisa jadi pengetahuan mereka belum cukup mumpuni untuk menjadi seorang wakil rakyat. 

Sekadar mengandalkan nama yang dikenal publik saja sebenarnya tidaklah cukup. Meski kita juga tidak bisa menjustifikasi bahwa semua politisi berlatar artis tidak kompeten dalam bertugas sebagai wakil rakyat.

Permasalahan utama yang saat ini terjadi sebenarnya adalah masyarakat tidak memiliki referensi cukup baik terkait wakil-wakilnya. Bukan hanya wakil rakyat dari kalangan perempuan, bahkan dari kalangan laki-laki pun juga tidak jauh berbeda. 

Masyarakat baru tahu siapa saja calon wakilnya saat datang ke bilik suara dan melihat foto calon-calon yang ada. Siapa yang sekilas pernah "singgah" di pikirannya, maka kemungkinan orang itulah yang dipilih. 

Masyarakat tidak memiliki bahan analisa yang cukup untuk menelusuri satu persatu latar belakang serta kompetensi para wakilnya. 

Pada akhirnya pengambilan keputusan untuk memiliki wakil rakyat seringkali dilakukan secara random (acak), atau yang lebih buruk lagi memilih wakil yang berani membayar lebih kepada mereka. Politik uang.

Apakah Masyarakat Ingin Diwakili Perempuan?
Kita sering menggembar-gemborkan kesetaraan terhadap kaum perempuan, khususnya dalam hal ini terkait posisi mereka sebagai wakil rakyat. 

Tentunya, angka 30% itu tidak akan serta merta terpenuhi tanpa adanya upaya nyata dalam mewujudkannya. Peranan utama tentu saja pada individu setiap perempuan yang berhasrat menjadi wakil rakyat. 

Apakah banyak diantara kaum mereka yang berminat menjadi wakil rakyat? Jika sudah berminat, apakah mereka sudah merasa cukup layak untuk menjadi wakil rakyat dan memperjuangkan aspirasi masyarakat pemilihnya? 

Selanjutnya, dukungan partai politik selaku "pintu masuk" menuju posisi-posisi pejabat publik yang mengelola dan mengawasi roda kehidupan suatu bangsa. 

Sebanyak apapun perempuan yang berhasrat menjadi anggota dewan tanpa dibarengi dengan penyerapan yang baik dari partai politik maka akan sia-sia saja. 

Apabila undang-undang mengharapkan keterwakilan kaum perempuan sebanyak 30%, maka partai politik seharusnya menyodorkan sejumlah nama lebih banyak dari proporsi itu. 

Secara realistis, semua nama yang diajukan oleh semua partai politik itu belum tentu terpilih. Hanya beberapa diantaranya saja. Sehingga jumlahnya pun akan menyusut. 

Boleh jadi yang diajukan sudah mencapai angka 30%, tetapi yang terpilih bisa hanya 5% saja dari masing-masing partai. Otomatis ketentuan keterwakilan perempuan di jajaran legislatif sesuai undang-undang pun gagal terpenuhi.

Selain dari diri masing-masing politisi perempuan yang ingin melibatkan diri dalam kancah perpolitikan tanah air dan dukungan setiap partai untuk membuka jalan para perempuan menjadi wakil rakyat, kita juga mesti bertanya kepada masyarakat pemilih. 

Apakah mereka berkenan menjadikan para perempuan itu sebagai wakilnya ataukah tidak. Belum tentu juga kaum perempuan di negeri ini memiliki wakil dari kaum yang sama. 

Bahkan mungkin masih banyak di antara mereka yang memilih wakil rakyat dari kaum laki-laki. Hal inilah yang barangkali perlu dilakukan kajian lebih lanjut terkait ada tidaknya kriteria gender dalam menentukan pilihan terhadap calon wakil rakyat.

Mengutip dari Katadata, jumlah penduduk Indonesia tahun 2018 mencapai angka sekitar 265 juta jiwa dimana sekitar 133,17 juta jiwa adalah laki-laki dan 131,88 juta jiwa lainnya perempuan. Secara umum jumlah kaum laki-laki masih lebih banyak dibandingkan kaum perempuan. 

Namun jumlahnya tidaklah terlalu jauh berbeda. Apabila diasumsikan bahwa kaum perempuan pasti memilih wakil rakyat dari kaumnya juga, maka seharusnya angka keterwakilan perempuan akan lebih tinggi dari sekarang. Tetapi kenyataannya tidak.

Mungkin untuk meningkatkan keterwakilan jumlah perempuan tidak semata-mata berfokus pada para kandidat wakil rakyat perempuan ataupun pada partai yang mengakomodasinya. 

Tetapi fokus haruslah dialihkan pada masyarakat pemilih yang harus tahu mengapa perempuan memiliki nilai lebih untuk dipilih. Jangan hanya sebatas pada perspektif gender lantas itu kemudian mengalahkan semua kriteria lain. 

Gender hanyalah pemberi nilai tambah. Kita mengenal perempuan sebagai pribadi yang cenderung cerewet, sensitif, dan teliti. Apabila hal ini "dioptimalkan" untuk memperjuangkan nasib rakyat barangkali akan memberikan manfaat yang luar biasa. 

Wakil rakyat yang "cerewet" atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat sangatlah penting. Sensitivitas wakil rakyat dalam merasakan penderitaan rakyat haruslah ada. 

Ketelitian untuk menghindari kebocoran serta penyelewengan anggaran adalah sebuah keharusan agar wakil rakyat benar-benar mampu mengemban amanah. 

Hanya saja apakah semua "kelebihan" itu benar-benar sudah tersalurkan secara tepat? Kelebihan itupun harus dibarengi kualitas pemikiran yang mumpuni sebagai wakil rakyat, serta harus diimbangi dengan integritas tinggi sehingga tercipta kualitas diri yang layak.

Masyarakat sekarang ini sudah bukan anak kecil yang bisa dibohongi lagi. Mereka tahu siapa yang layak dan siapa yang tidak. Hanya saja masyarakat perlu diberikan sumber referensi yang benar dan terpercaya, bukan informasi yang menyesatkan. 

Ulasan-ulasan tentang kiprah tokoh perempuan harus diperbanyak. Publik harus dicerdaskan, bukan dibodohi.

Pada akhirnya, wakil rakyat dengan latar belakang gender apapun sebenarnya sama-sama baik asalkan mereka benar-benar bekerja untuk rakyat. Menjaga amanah rakyat. Hanya saja semua kalangan harus diberikan hak yang sama untuk berkiprah di kancah publik. 

Seperti halnya perempuan juga harus diberikan kesempatan yang sama untuk unjuk diri. Yang terpenting dari itu semua, semua wakil rakyat harus memiliki kapasitas, kapabilitas, serta integritas yang mumpuni dalam memperjuangkan suara rakyat.

Salam hangat,
Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun