Mengenal sosok Mbah Abdul Karim Penjaga Spiritual Desa Jambuwer
Mbah Abdul Karim adalah sosok ulama sakti dan karismatik yang berasal dari Ponorogo, namun kemudian menetap di Desa Jambuwer kecamatan Kromengan Kabupaten Malang. Beliau dikenal sebagai figur spiritual yang dihormati masyarakat karena kedalaman ilmu agama, kesaktiannya, serta peran pentingnya dalam menjaga keamanan dan ketenteraman desa. Keberadaan beliau begitu kuat hingga dijuluki "Jokoboyo", yakni penjaga keamanan seluruh desa, karena dipercaya mampu mengetahui dan menangkal niat buruk yang datang ke wilayah tersebut.
Salah satu nilai luhur yang diajarkan oleh Mbah Abdul Karim adalah prinsip "Tetulung", yang berarti menolong orang tanpa pamrih. Prinsip ini menjadi fondasi dalam kehidupan sosial masyarakat Jambuwer hingga kini, menanamkan rasa gotong royong dan kepedulian antarwarga.
Selain sebagai tokoh spiritual, Mbah Abdul Karim juga berjasa besar dalam pengembangan desa secara fisik. Pada masa 1960-an, ketika desa belum memiliki penerangan, beliau berinisiatif membuat lampu tradisional bernama "Ting-ting" atau "Cempluk", yang diisi minyak setiap sore hari. Bahkan, beliau berhasil membuat kincir air untuk menghasilkan listrik penerangan jalan. Inovasi ini kemudian berkembang hingga pada tahun 1982, desa memperoleh mesin diesel dan bantuan dari PLN untuk penerangan modern.
Untuk mengenang jasa beliau, setiap 1 Suro diadakan ritual wayangan. Dulu, saat Mbah Abdul Karim masih hidup, acara ini dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam. Namun kini, tradisi tersebut diperingati selama satu malam saja, sebagai bagian dari nguri-uri budaya (melestarikan tradisi leluhur).
Desa Jambuwer juga memiliki kawasan sakral bernama "Dangyang"---sebuah punden tempat leluhur pertama kali menapakkan kaki di wilayah ini. Konon, tempat ini menjadi pusat isyarat atau pertanda gaib yang muncul bila desa akan mengalami hal negatif. Tempat ini dahulu sempat dijadikan lokasi wisata kolam renang, namun ditutup karena perilaku tidak pantas pengunjung. Kini, kolam tersebut difungsikan sebagai area budidaya ikan yang dikelola oleh juru punden, Bapak Triono.Desa ini juga dikenal akan tradisi kesenian topeng, yang dipimpin oleh Pak Barjo dan tergabung dalam Paguyuban Candra Kirana. Uniknya, para dalang (pemain wayang) saat itu adalah perempuan, dan pengukir topeng utamanya adalah Pak Iswati. Kesenian ini sempat mengalami kevakuman setelah Pak Barjo wafat, namun tetap dikenang sebagai identitas budaya.
Patung Topeng Gunung Sari yang terletak di Jambuwer adalah simbol khas budaya Malang yang didirikan tahun 1996, hasil kerja sama dengan mahasiswa KKN IKIP Malang dan masyarakat, khususnya Mbah Karimun dari Kedung Monggo sebagai tokoh sentralnya. Kini, Desa Jambuwer diasuh oleh Bapak Mujiono S.Pd yang meneruskan semangat pelestarian budaya dan nilai moral yang telah diwariskan oleh para leluhur, termasuk Mbah Abdul Karim.
1.Apa yang membuat pengalaman kuliah terpadu di Desa Jambuwer menarik atau berbeda dari pengalaman belajar sebelumnya? Pengalaman kuliah terpadu di Desa Jambuwer sangat menarik karena mahasiswa tidak hanya belajar teori di kelas, tapi langsung berinteraksi dengan masyarakat dan menggali warisan budaya lokal. Suasana desa yang sakral dan kaya cerita spiritual memberikan pengalaman belajar yang hidup dan bermakna
2.Apa tujuan utama dari penugasan menggali mitos, legenda, atau cerita rakyat di desa ini? Pengalaman kuliah terpadu di Desa Jambuwer sangat menarik karena mahasiswa tidak hanya belajar teori di kelas, tapi langsung berinteraksi dengan masyarakat dan menggali warisan budaya lokal. Suasana desa yang sakral dan kaya cerita spiritual memberikan pengalaman belajar yang hidup dan bermakna
3.Mengapa penting bagi generasi muda untuk mengenal cerita rakyat daerah? Cerita rakyat adalah cermin identitas dan jati diri suatu daerah. Dengan mengenalnya, generasi muda bisa memahami akar budaya, nilai moral, serta membentuk sikap cinta tanah air dan rasa hormat terhadap leluhur.
II. Konteks dan Latar Belakang Cerita
4.Cerita rakyat apa yang berhasil ditemukan atau digali dari warga Desa Jambuwer? Cerita tentang Mbah Abdul Karim, tokoh spiritual sakti dari Ponorogo yang menetap di Desa Jambuwer. Ia dikenal sebagai penjaga keamanan seluruh desa dan pengajar nilai "tetulung".
5.Siapa narasumber utama yang menceritakan kisah tersebut (misalnya tokoh adat, sesepuh desa, dll)?Mbah Tumin, Bu Bibit, Pak Yoyo, Pak Mujiono
6.Bagaimana proses mendapatkan cerita itu---melalui wawancara, observasi, atau kegiatan lain? Cerita diperoleh melalui wawancara langsung dengan tokoh adat, pengamatan lokasi sakral seperti punden Dangyang, serta dokumentasi kegiatan
7.Apakah cerita tersebut masih dikenal luas oleh generasi muda di desa? Jika tidak, mengapa?Masih menjadi cerita rakyat yang sangat kental dan sangat dikenal oleh generasi muda yang adad di Jambuwer
III. Isi dan Struktur Cerita Rakyat
8.Siapa saja tokoh utama dalam cerita tersebut? Tokoh manusia, makhluk gaib, atau binatang? Tokoh utama adalah Mbah Abdul Karim, seorang manusia yang memiliki kesaktian dan kemampuan spiritual tinggi, sering disebut "Jokoboyo"
9.Apa konflik utama dalam cerita itu? Bagaimana cerita itu berakhir? Konflik utama adalah gangguan atau ancaman spiritual terhadap ketenteraman desa. Cerita berakhir dengan keteguhan Mbah Abdul Karim menjaga desa, serta diwariskannya nilai-nilai luhur kepada masyarakat.
10.Di lokasi mana cerita ini konon terjadi? Apakah tempatnya masih bisa dikunjungi sekarang? Cerita ini terjadi di beberapa titik di Desa Jambuwer, seperti punden Dangyang dan area kolam sakral. Tempat-tempat ini masih bisa dikunjungi hingga sekarang.
11.Apakah ada nilai moral, pesan, atau ajaran yang bisa dipetik dari cerita tersebut? Nilai moral utamanya adalah prinsip "tetulung" atau tolong-menolong tanpa pamrih, serta pentingnya menjaga tradisi, kebersamaan, dan keseimbangan spiritual dalam kehidupan bermasyarakat.
IV. Relevansi dan Refleksi
12.Apakah cerita tersebut berkaitan dengan kondisi sosial, kepercayaan, atau budaya masyarakat Jambuwer hari ini? Ya, masyarakat Jambuwer masih memegang nilai-nilai spiritual yang diajarkan oleh Mbah Abdul Karim, terutama dalam acara 1 Suro dan kegiatan budaya lainnya.
13.Menurut Anda, apa relevansi cerita ini bagi pembaca modern baik dari sisi pendidikan, kebudayaan, atau kepribadian? Cerita ini sangat relevan karena mengajarkan pentingnya nilai moral, keikhlasan dalam membantu sesama, serta menjaga warisan budaya di tengah arus modernisasi.
14.Apakah cerita ini bisa dijadikan bahan ajar di sekolah atau media pengembangan wisata budaya? Iya, Cerita ini bisa dijadikan bahan ajar muatan lokal atau sebagai konten edukatif dalam program wisata budaya berbasis desa, yang menggabungkan pembelajaran dan pengalaman.
15.Bagaimana perasaan Anda pribadi setelah mendengarkan atau menuliskan ulang cerita ini? Saya merasa kagum, terinspirasi, dan sekaligus tersentuh oleh nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh Mbah Abdul Karim. Cerita ini membuka mata tentang pentingnya merawat budaya dan menghormati leluhur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI