Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Mengapa Anak Takut Mencoba Hal Baru?

29 Januari 2023   19:00 Diperbarui: 30 Januari 2023   14:02 1602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak sedang Ketakutan. Sumber: Baby Sparks

Pertanyaan di atas muncul ketika saya sedang bertemu kerabat yang telah memiliki anak dan tetiba mengeluh karenanya. Sebut saja Zainuddin, anak dari kerabat saya, seringkali menolak untuk mencoba makanan yang tidak biasa ia temui sehari-hari. Pun ketika bermain, Zainuddin sering terlihat ragu untuk mengotak-atik mainan tertentu.

Hal tersebut semakin kentara saat Zainuddin lebih memilih untuk menjauhi teman sebayanya yang sedang asyik bermain dan justru hanya mengamati mereka dari kejauhan. Ibu dari Zainuddin merasa anaknya terlalu banyak pertimbangan dan takut keluar dari zona nyamannya. Perilaku yang demikian mengesankan Zainuddin sebagai anak yang tertutup dan pemalu.

Belum lagi, Zainuddin juga sering berkata, “I can’t do that, Mommy” atau “I don’t know how to do it” bahkan sebelum ia mencobanya. Berdasarkan keterangan dari Ibunya, Zainuddin kerap menolak hingga berteriak, lari, sembunyi, hingga menangis tersedu-sedu. Apakah hal tersebut dapat dianggap wajar? Apa yang sebenarnya terjadi pada Zainuddin?

***

Salah satu karakteristik individu pada tahapan usia kanak-kanak yakni memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (curiousity). Karakteristik tersebut sangat penting bagi perkembangan, sebab berkaitan dengan rasa percaya diri, keberanian, sekaligus memperluas pengetahuan dan pengalaman anak. Rasa ingin tahu yang tinggi menandakan anak memiliki keinginan untuk belajar.

Dalam proses belajar, setiap anak tentu akan melewati momen “first time” dalam kehidupannya. Pertamakali mencicipi makanan baru, berkunjung ke tempat asing, melepas baju sendiri, dan berbagai momen lainnya. Namun, tak jarang pula anak merasa takut, ragu, khawatir, dan menolak untuk mencoba hal baru tersebut.

Rasa takut memanglah respons khas terhadap suatu tantangan baru bagi anak. Jika dibiarkan berlarut-larut, hal tersebut bisa berakibat pada mental mereka. Bisa jadi, mereka lebih memilih zona nyaman dan menghindari segala risiko yang nantinya akan mengarah pada peluang yang terlewatkan, pikiran negatif kepada banyak hal, dan meragukan kemampuan diri sendiri.

Penyebab dan Solusi

Dilansir dari Dream, seorang pakar pengasuhan anak bernama Claire Lerner mengungkapkan bahwa anak cenderung memiliki analisis yang detil dan pemikiran yang mendalam terhadap lingkungan sekitarnya. Hal tersebut mengarah pada perilaku positif sekaligus memicu mereka untuk lebih rentan terhadap rasa takut dan cemas.

“Akibatnya, mereka akan berpegang teguh pada zona nyaman dan menolak hal baru dalam hidupnya” lanjut Lerner.

Di samping itu, orangtua yang tidak suportif dan kooperatif juga menjadi salah satu pemicu bagi anak untuk takut mencoba hal baru. Rasa khawatir kepada anak membuat orangtua terkadang sulit menahan diri untuk melarang anak mencoba ini dan itu. Tak jarang pula orangtua sengaja menakut-nakuti agar anak tidak nekat melakukan sesuatu yang baru.

Meski atas dasar kasih sayang dan demi melindungi anak dari risiko berbahaya, hal tersebut akan mengikis rasa ingin tahu anak jika dilakukan terlalu berlebihan. Pola pengasuhan yang terlalu mengekang ---atau sering dikenal dengan istilah strict parents menjadi pemicu terbesar rasa takut anak, sebab pada usia tersebut mereka masih banyak menghabiskan waktu bersama orangtua.

Penyebab lain dari tumbuhnya rasa takut anak untuk mencoba hal baru yakni adanya trauma terhadap kejadian di masa lalu. Dilansir dari The National Child Traumatic Stress Network (NCTSN), pengalaman traumatis pada anak dapat memicu emosi yang kuat dan reaksi fisik terhadap suatu peristiwa yang tidak menyenangkan. Anak dapat merasa ketakutan, ketidakberdayaan, teror, serta reaksi fisiologis seperti kehilangan kontrol untuk buang air kecil, muntah, hingga jantung berdebar.

 Misalnya, saat dulu anak pertamakali belajar memakan sayur, orang terdekatnya memaksa mereka untuk memakan sayur dengan cara membentak, menakut-nakuti, mencubit, hingga perilaku tidak menyenangkan lainnya yang menimbulkan trauma. Jika dibiarkan terus menerus, bisa jadi seumur hidup anak akan membenci sayuran.

Agar rasa takut tersebut tidak dibawa anak hingga dewasa, hal pertama dan mendasar yang dapat dilakukan oleh orangtua yakni harus mengatasi kecemasannya sendiri terlebih dahulu. Ya, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa “Setiap manusia dilahirkan oleh Ibunya atas fitrah. Kedua orangtuanya yang menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.

Riwayat tersebut dapat menjadi analogi bahwa anak meniru dan berperilaku sesuai apa yang dibentuk orangtuanya. Jika orangtua senantiasa menampakkan kekhawatiran, menakut-nakuti, mengancam, dan hal lain yang menyebabkan anak merasa takut, maka mereka akan ‘merekam’ dan menganggap hal tersebut memang sebagaimana mestinya.

Kedua, orangtua dapat membantu anak untuk lebih berani melalui keterampilan yang disebut regulasi diri (self-regulation). Dikutip dari Child Mind Institute, regulasi diri merupakan kemampuan dalam mengelola dan memroses emosi sekaligus perilaku diri sendiri dengan cara yang baik. Hal ini akan membantu anak untuk meyakinkan diri dan merasakan emosi tanpa bertindak impulsif.

Pikiran sesaat akan ketakutan bagi orang dewasa lebih mudah dikendalikan, sebab orang dewasa mampu berpikir lebih realistis dan rasionalis. Bagi anak-anak, membangun regulasi diri memerlukan latihan, ruang, dan waktu untuk belajar. Artinya, orangtua harus ‘tega’ membiarkan anak menjadi sedikit tidak nyaman saat mereka sedang mencoba hal baru.

Dalam prosesnya, orangtua dapat mengajak anak untuk berdiskusi tentang apa yang membuat mereka takut. Sebab, anak mungkin mengetahui apa yang mereka takutkan, namun mereka tidak selalu memiliki kata-kata yang pas untuk menjelaskannya. Ajukan pertanyaan spesifik agar orangtua maupun anak mendapatkan pemahaman yang baik dan menemukan solusi dalam mengatasinya bersama-sama.

Setelah berdiskusi, bantu anak untuk mem-validasi rasa takut tersebut dan tunjukkan kepedulian terhadapnya. Alih-alih menganggapnya serius, orang dewasa terkadang menganggap ketakutan anak sebagai lelucon. Hal tersebut dapat membuat anak kehilangan nyali untuk mengungkapkan rasa takut sekaligus malas mencoba hal baru di kemudian hari sebab merasa dianggap sepele.

Manajemen rasa takut akan mencoba hal baru juga dapat dilakukan melalui tindakan reinforcement atau penguatan. Di mana anak akan mendapatkan ganjaran berupa penghargaan maupun hukuman (in a good way) yang mengarah pada perubahan perilaku. Misalnya, ketika anak tetiba menghabiskan sayur pada makanannya untuk pertamakali, orangtua dapat memberikan penguatan dengan cara menawarkan mereka untuk bermain di taman, membeli mainan kesukaannya, dan sebagainya.

Intervensi positif tersebut dapat memotivasi anak untuk lebih berani mencoba hal baru. Tak perlu memarahi atau menggunakan ancaman tertentu, sebab ---sekali lagi, anak membutuhkan latihan, ruang, dan waktu yang lebih lama untuk mempelajari sesuatu yang asing bagi mereka. Bersikap lembut namun tetap tegas dan disiplin akan membuat mereka nyaman sehingga lebih percaya diri.

Dalam beberapa kasus, ketakutan berlebihan dapat memburuk seiring dengan berjalannya waktu. Jika hal tersebut sampai pada tahap menganggu aktivitas sehari-hari anak seperti sulit tidur, makan, kehilangan minat bermain, dan perilaku menghawatirkan lainnya, maka hal tersebut bisa jadi merupakan salah satu gejala gangguan kecemasan.

Jika anak memiliki gejala tersebut dan sulit untuk ditangani sendiri oleh orangtua, maka jangan ragu untuk meminta bantuan profesional. Gangguan kecemasan yang terjadi di masa kecil dapat menjadi lebih baik jika apabila segera mendapatkan perawatan dan dukungan yang maksimal. Akhir kata, semangat membersamai anak, Ayah Bunda!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun