Cantik, anggun, sempurna, bahkan awalnya aku begitu bangga dapat dekat denganmu. Kamu, seorang gadis sempurna, yang sangkin sempurnanya kamu dimataku, sampai aku tak percaya kamu benar-benar hidup di muka bumi, dan pria sesederhana aku yang dapat berhasil mengisi hari-harimu.
Semenjak aku mengenalmu, tugasku membuat kamu tersenyum, walaupun salah langkahku didalam bersikap seringkali membuat kau merajuk. Ah! Kau memang sedikit manja, dan memanjakanmu setiap waktu, itulah kewajibanku yang tak pernah kau wajibkan, tugasku yang tak pernah kau tugaskan, dan keharusanku yang tak pernah kau haruskan.
Tapi dengan kau menerima semua yang ku berikan, membuat aku selalu berangan-angan, selalu merasa dibutuhkan, meskipun aku yakin, kau tak pernah butuh, hanya aku yang sibuk memenuhi kebutuhanmu yang sebenarnya telah tercukupi dengan penuh.
Waktu terus berlalu, wajarkah bila aku berharap atas dirimu? Kau bilang itu sikap yang aneh, teman yaa teman, jangan baper-baperan! Tapi kamu tahu? menemani setiap waktu, setiap hari, setiap bulan, bahkan bertahun laksana menjadi buku harian. apakah perasaan itu masih kau salahkan?
Berceritalah tentang hari-harimu, hingga kau terlelap dan aku akan menemanimu di ujung telpon, jauh tapi terasa sangat dekat, telpon genggam tak akan ku lepas sebelum aku memastikan kau di sana telah benar-benar pulas.
Tentang hari-harimu, apa yang aku tak tahu? Semuanya aku tahu lebih dari aku mengetahui seisi rumahku. Karena memang akulah buku harian hidupmu. Buku harian yang tak hanya diam saat kau mengeluh, tapi turut merasakan sakit saat kau tersakiti, turut merasakan susah saat kau berkeluh kesah, merasa pedih laksana teriris saat kau menangis, dan ikut tertawa ceria saat kau bercerita tentang hal bahagia.
Suatu saat, seorang gadis berusaha mendekatiku, dengan segala keanggunan yang meluluhkan, Ia berusaha membuka pintu hatiku, dan masuk kedalam hidupku.
Aku merasa dilema, bukannya ada hati yang harus ku jaga? Tapi hati siapakah yang harus ku jaga? Apakah hatimu? Siapakah dirimu? Setauku, kau hanya teman biasa, hanya kekasih sepihak yang itu hanya ada dalam bayangan Fatamorgana yang realitanya sangat jauh dari kata nyata. Kau berusaha ada mengisi ruang hati yang hampa, tapi bagiku kau hanya kabut asap yang menggantung di udara.
Jadi, apakah salah jika aku mencoba membuka hati untuknya? Aku sadar hidup tak mungkin sendiri, dan menjalani segalanya berdua lebih berarti. Maka aku dengan ragu-ragu mencoba berlahan membuka hati untuknya yang kurasa berkenan untuk berbagi hati. Aku yakin, sebagai sahabat, tentu kau akan merasa gembira, walaupun ternyata dugaanku salah.
“Maaf, aku tak terlalu suka kamu dekat sama dia!”
ucapmu dalam tangis.
“Loh, kenapa? Aku sama dia cuma temenan kok, sama kaya aku sama kamu.” tanyaku pura-pura kebingungan, padahal harapan dihati atas dirimu semakin mekar.