Mohon tunggu...
Fahad Adzriel
Fahad Adzriel Mohon Tunggu... Mahasiswa Islamic Studies of International Open University (Indonesia) Gambia, Afrika

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengorbanan, Kedinginan Emas dan Keapian Crypto

15 Oktober 2025   07:10 Diperbarui: 13 Oktober 2025   22:09 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (by: fahadzriel)

Cahaya lampu kota semakin jelas dalam gelapnya malam. Wajah Bima terlihat ragu, berbeda dengan semangatnya tadi.

Bima: (Suara rendah, serius) Pak, ada satu hal yang mengganjal. Selama ini saya bicara tentang potensi dan masa depan... tapi saya lupa tentang harga yang sudah dibayar. Teman saya, Rian... dia jual motor, kerja lembur, habiskan tabungan untuk mining rig. Hasilnya? Harga crypto anjlok, dia terpuruk. Sementara itu, para whale, para early adopter, mereka yang punya modal besar, justru di atas sana tertawa. Mereka kaya dari penderitaan orang seperti Rian.

Bima: (Menatap Pak Joko) Di dunia crypto, yang kaya seringkali jadi semakin kaya dengan memanfaatkan ketidakpahaman dan keputusasaan orang kecil yang ingin 'to the moon'. Itu terasa... tidak adil. Sedangkan emas... ya, harganya naik turun, tapi tidak terasa seperti ada yang dijadikan umpan. Ini kecacatan fundamental dalam dunia crypto, bukan?

Pak Joko: (Mengangguk pelan, wajahnya penuh empati) Itu bukan cacat, Nak. Itu adalah konsekuensi. Namanya juga 'pemberontakan'. Setiap revolusi punya korban. Yang membedakan adalah, apakah revolusi itu akhirnya menciptakan tatanan yang lebih adil, atau hanya mengganti para tuan yang lama dengan para tuan yang baru yang kali ini bersembunyi di balik wallet address.

Pak Joko: (Mendesah) Emas punya sejarah yang sama kelamnya, Bima. Pertambangan emas merusak lingkungan. Demi emas, perang dan penjajahan terjadi. Bedanya, pengorbanan dan ketidakadilan itu sudah ter-institutionalized, tersistem rapi, dan kita menerimanya sebagai 'bagian dari bisnis'. Kekejaman emas sudah berdebu. Kekejaman crypto masih basah oleh air mata.

Bima: Jadi... apa yang saya percayai ini hanya ilusi? Bahwa kami sedang membangun dunia yang lebih adil, tapi nyatanya kami hanya menciptakan kasino yang lebih efisien?

Pak Joko: Bukan itu poinnya. Poinnya adalah kesadaran. Kamu sekarang sudah melewati fase euforia dan mulai melihat darah di lantai bursa. Itu tanda kedewasaan.

Pak Joko: (Bersandar) Emas tidak menjanjikan keadilan. Ia hanya menjanjikan ketahanan. Crypto menjanjikan keadilan tapi janji itu harus diperjuangkan, bukan diberikan. Masalahmu bukan pada teknologinya, tapi pada manusia yang memakainya. Kecacatan yang kamu lihat adalah cermin dari kecacatan kita sendiri: keserakahan, ketamakan, dan ilusi akan kekayaan instan.

Bima: Lalu apa gunanya teknologi hebat jika ujung-ujungnya hanya mereproduksi ketidakadilan lama?

Pak Joko: Karena teknologi itu memberikan pilihan. Dulu, hanya bank yang bisa menjadi penjaga nilai. Sekarang, dengan Bitcoin, kamu bisa menjadi bank bagi dirimu sendiri. Itu adalah kemajuan besar. Tapi ingat, dengan kekuasaan besar datang tanggung jawab besar. Kebebasan untuk mengontrol asetmu sendiri juga berarti kebebasan untuk menghancurkannya sendiri.

Pak Joko: Jadi, jangan tinggalkan crypto karena kamu kecewa. Pelajarilah dia lebih dalam. Pahami bahwa di balik janji kebebasan, ada jurang yang dalam. Berinvestasilah dengan bijak, dengan uang yang rela kamu hilangkan. Dan yang terpenting... jangan pernah mengorbankan yang esensial seperti hubungan pertemananmu dengan Rian demi yang spekulatif.

Opini: Pengorbanan - Cacat Sistemik atau Ujian Kedewasaan?

Apa yang diungkapkan Bima adalah kritik paling sahih terhadap dunia crypto: ia sering kali bukanlah alat pembebasan, melainkan mesin pembuat ketimpangan baru yang lebih cepat dan tak terbaca.

Ini bukan sekadar "cacat" yang bisa diperbaiki dengan patch kode. Ini adalah konsekuensi dari pertemuan antara:

1. Teknologi yang mendemokratisasi akses, dan

2. Sifat manusia yang tetap hierarkis dan serakah.

Emas itu seperti seorang tua yang jujur: "Aku tidak menjanjikan keadilan. Aku hanya menjanjikan bahwa jika kau pegang aku erat-erat, dalam 20 tahun, kau tidak akan jatuh miskin." Pengorbanannya tersembunyi dalam rantai pasok dan sejarahnya yang berdarah.

Crypto seperti pemuda yang bersemangat: "Aku akan ciptakan dunia yang adil! Mari bergabung!" Tapi dalam kegairahan itu, terbentuklah piramida baru dimana yang awal dan yang kaya memiliki keuntungan tak terbantahkan. Pengorbanannya terlihat jelas, personal, dan menyakitkan.

Jadi, apa ini cacat?

Ini adalahTantangan Evolusi. Crypto belum dewasa. Ia masih dalam fase "apa pun bisa terjadi". Untuk bertahan, ia harus menemukan cara untuk tidak hanya mendistribusikan kekayaan, tetapi juga mendistribusikan kebijaksanaan dan melindungi yang naif.

Kedewasaan sesungguhnya, seperti yang ditunjukkan Pak Joko, adalah memiliki belas kasih dalam spekulasi. Memahami bahwa di balik setiap chart yang melambung, ada kisah manusiawi tentang harapan dan keputusasaan.

Mungkin, portofolio yang paling canggih bukan hanya berisi emas dan Bitcoin, tetapi juga berisi kerendahan hati pengakuan bahwa kita bisa salah, dan bahwa uang yang hilang dalam crypto adalah seorang guru yang kejam tapi efektif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun