Nyai Ratna!
"Ibu!" pekik Angin, antara terkejut dan lega.
Nyai Ratna, dengan pakaian tempur sederhana namun gesit, bergerak lincah membantu mereka. Ia sepertinya telah mengikuti Angin dari jauh, atau mungkin firasat seorang ibu dan mantan prajurit elit membuatnya selalu waspada. Ia berteriak memberi komando, menunjukkan jalur pelarian lain yang tak mereka ketahui, sebuah celah sempit di antara bebatuan yang tertutup semak belukar.
"Cepat! Ikuti aku!" serunya.
Mereka berempat, dengan sisa tenaga, mengikuti Nyai Ratna, sementara Pangeran Wirasakti hanya memandang dari kejauhan, ekspresinya tak terbaca, tak membantu, namun juga tak menghalangi pelarian mereka dari VOC secara aktif. Apakah ini juga bagian dari rencananya?
Namun, kebebasan itu harus dibayar mahal. Saat mereka hampir mencapai tempat aman, sekelompok serdadu VOC yang lain berhasil mengepung dari arah berlawanan. Tembakan dilepaskan. Nyai Ratna, yang melihat sebuah senapan diarahkan tepat ke Angin, tanpa ragu mendorong putrinya itu menjauh.
DOR!
Peluru itu menembus dada Nyai Ratna.
"IBUUU!!!" Jeritan Angin melengking memilukan, lebih sakit dari luka fisik mana pun.
Nyai Ratna tersenyum tipis ke arah Angin, tangannya mencoba menggapai pipi putrinya. "Pergilah... Nak... hiduplah... kau... harapan..." kata-katanya terputus oleh batuk darah. Ia rubuh di pelukan Angin.
Api dan Tanah menarik Angin yang histeris, sementara Tirta menahan laju serdadu VOC dengan gelombang air dadakan dari sebuah mata air kecil di dekat sana. Kematian Nyai Ratna, pengorbanan terakhirnya, memberi mereka beberapa detik berharga untuk meloloskan diri.