Keheningan yang canggung menyelimuti. Angin tak sanggup menatap mata ayahnya. "Kami... kami hanya ingin mencari udara segar, Pangeran," jawab Tanah, berusaha terdengar biasa.
Wirasakti tersenyum tipis, senyum yang kini terlihat mengerikan bagi mereka. "Udara di dalam gua ini memang kadang menyesakkan. Terutama bagi mereka yang menyimpan rahasia."
Jantung mereka berdegup kencang. Ia tahu. Entah bagaimana, ia tahu. "Jangan halangi kami, Pangeran!" seru Api, maju selangkah, siap melepaskan kekuatannya.
"Menghalangi?" Wirasakti tertawa pelan. "Kalian adalah harapan terakhir tanah ini. Tentu saja aku tidak akan menghalangi kalian... untuk memenuhi takdir kalian." Kata-katanya penuh makna ganda yang menyeramkan.
Belum sempat mereka bereaksi lebih jauh, dari arah luar gua terdengar suara pekikan aneh, disusul suara kepakan sayap yang kuat. Beberapa serdadu VOC, yang tampaknya memang sudah mengintai atau kebetulan berpatroli di dekat jalur keluar itu, muncul dari balik pepohonan, beberapa di antaranya membawa elang-elang besar yang terlatih di lengan mereka. Pengkhianat itu telah bekerja, atau mungkin simbol kabut hitam tempo hari memang menandakan pengawasan ketat.
"Kompeni!" pekik Angin.
Situasi berubah dari buruk menjadi lebih buruk. Mereka kini terjepit antara Wirasakti yang berpotensi menjadi ancaman dan pasukan VOC yang siap menyerang.
"Sepertinya takdir kalian datang lebih cepat dari yang kuduga," ujar Wirasakti dengan nada datar, namun matanya menatap tajam ke arah pasukan VOC itu. Apakah ia akan membantu mereka, atau membiarkan VOC menangkap mereka untuk mempermudah rencananya sendiri?
Tak ada waktu untuk menebak. Angin mengambil inisiatif. "Kita harus berpencar! Aku akan coba alihkan perhatian mereka dari udara!" Ia segera melesat terbang keluar dari mulut gua, disambut oleh pekikan elang-elang VOC yang langsung mengejarnya. Pertempuran udara pun tak terhindarkan. Angin, dengan kelincahannya, menghindari cengkeraman cakar-cakar tajam dan serangan paruh, sesekali menciptakan hembusan angin kuat untuk mengganggu jalur terbang para elang.
Di bawah, Tanah, Api, dan Tirta berhadapan dengan serdadu VOC yang mulai merangsek masuk. Api, tanpa ragu, menyemburkan tembok api biru yang dahsyat, memblokir lorong gua dan memaksa pasukan kavaleri VOC yang mencoba mendekat untuk mundur. Asap tebal dan panas menyengat memenuhi udara. Tanah menggunakan kekuatannya untuk meruntuhkan sebagian langit-langit gua di dekat pintu masuk, menciptakan barikade batu darurat. Tirta, mencari celah, merasakan adanya aliran air di balik salah satu dinding gua, dan dengan kekuatan penuh ia menghantam dinding itu, menciptakan lubang yang mengalirkan air deras, membuat pijakan para serdadu VOC menjadi licin dan kacau.
Namun, jumlah serdadu VOC terlalu banyak. Elang-elang di udara pun semakin mendesak Angin. Di tengah kekacauan itu, ketika sebuah jaring hendak menangkap Angin yang kelelahan, sebuah sosok tiba-tiba muncul dari rerimbunan hutan di bawah, melepaskan rentetan anak panah dengan kecepatan luar biasa, mengenai beberapa elang dan serdadu VOC.