Bab 3: Angin dan Jamu Pahit
Sebelum lanjut, sudah baca Prolog, Bab 1, dan Bab 2 belum?
Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.
Pasar Dayeuhkolot adalah jantung yang berdenyut di tengah permukiman padat, sebuah kuali raksasa tempat segala macam aroma, suara, dan warna tumpah ruah menjadi satu. Dari fajar merekah hingga senja menjelang, pasar itu tak pernah tidur. Bau terasi udang yang menyengat dari lapak penjual bumbu bersaing dengan harumnya kembang tujuh rupa dari penjual sesajen, sementara suara tawar-menawar yang sengit, teriakan pedagang menjajakan barang, dan gelak tawa anak-anak yang berlarian di antara lorong-lorong sempit, menciptakan sebuah orkestra kehidupan yang hingar bingar.
Di tengah keriuhan itulah Sari, yang lebih dikenal dengan julukan Angin, merasa paling hidup. Gadis enam belas tahun itu menjajakan jamu gendongnya dengan senyum secerah matahari pagi, meski matanya selalu awas mengamati sekeliling. Rambutnya yang hitam legam dikepang asal-asalan, beberapa anak rambut lolos membingkai wajahnya yang tirus namun selalu memancarkan keceriaan. Ia lincah bak kancil, menyelinap di antara kerumunan, bakul jamu yang digendongnya seolah tak membebani langkahnya.
"Jamu, jamu! Pahitnya hidup biar jamu ini yang rasa, manisnya senyuman tetap di bibir Anda!" serunya dengan nada jenaka, suaranya nyaring namun merdu. Para langganannya, kebanyakan para pedagang dan kuli panggul, tersenyum mendengar celotehannya.
Namun, di balik keramahan dan senyumnya, Angin memiliki sisi lain. Ia tumbuh besar di kerasnya jalanan dan hiruk pikuk pasar ini, diasuh oleh Nyai Ratna, seorang penjual jamu lain yang misterius dan pendiam. Kebutuhan hidup memaksanya menjadi lebih dari sekadar penjual jamu. Dengan kecepatan tangan yang tak kalah dengan pesulap, sesekali ia 'meringankan' kantong para serdadu Belanda atau saudagar kaya yang lalai. Bukan untuk kemewahan, tapi sekadar untuk memastikan ada cukup beras di periuk Nyai Ratna dan untuk membeli beberapa potong gula jawa kesukaannya.
Pagi itu, Angin melihat target empuk: dua serdadu VOC yang sedang terbahak-bahak di depan warung tuak, kantong uang mereka menggembung jelas di ikat pinggang. Dengan senyum manis, ia mendekat.
"Tuan-tuan Belanda yang gagah perkasa, mau coba jamu kuat dari Nona Angin? Dijamin tenaga kuda, pikiran pun ceria!" tawarnya, sedikit mengedipkan mata.
Salah satu serdadu, yang lebih muda dengan wajah penuh bintik merah, meliriknya dari atas ke bawah dengan pandangan kurang ajar. "Jamu apa yang bisa kau tawarkan, gadis kecil?"
"Jamu pelepas lelah, Tuan. Setelah seharian bekerja keras... atau mungkin setelah terlalu banyak minum tuak?" Angin menjawab dengan nada sarkastis yang disamarkan.