Amarah, kesedihan, rasa putus asa -- semua bergolak dalam diri Tanah. Ia merasakan sesuatu yang aneh bergejolak di perutnya, naik ke dadanya, menyesakkan. Bumi di bawah telapak tangannya terasa bergetar, bukan getaran lembut yang biasa ia rasakan, tapi getaran yang keras, marah. Ia menatap sersan itu, matanya menyala oleh kebencian.
"Kalian... pembunuh!" desisnya.
Dan kemudian, terjadi. Tanah itu sendiri yang seolah merespons amarahnya. Getaran di bawahnya semakin kuat. Tanah di sekitar para serdadu VOC yang sedang tertawa itu mulai retak. Terdengar suara gemuruh pelan, datang dari dalam bumi. Para serdadu berhenti tertawa, wajah mereka menunjukkan kebingungan, lalu ketakutan.
"Apa... apa ini?" gagap salah satu dari mereka.
Retakan-retakan itu melebar, tanah di bawah kaki mereka ambles. Gemuruh semakin keras, seperti raksasa yang menggeliat bangun dari tidurnya. Tanah menjerit, bukan karena takut, tapi karena luapan emosi yang tak terkendali. Dan bersamaan dengan jeritannya, lereng bukit kecil di sisi alun-alun desa itu seolah hidup. Batu-batu besar berjatuhan, tanah longsor dengan kecepatan mengerikan, menerjang ke arah para serdadu Kompeni.
Mereka tak sempat bereaksi. Teriakan panik dan ngeri terdengar sesaat, lalu lenyap ditelan gemuruh tanah dan batu yang mengubur mereka hidup-hidup. Sersan Belanda itu sempat menoleh, matanya terbelalak ngeri sebelum tubuhnya ikut lenyap ditelan longsoran.
Dalam sekejap, semuanya berakhir. Debu mengepul tebal, menutupi pemandangan mengerikan itu. Alun-alun desa kini sebagian tertutup oleh timbunan tanah dan batu. Beberapa serdadu yang berada di pinggir berhasil menghindar, lari tunggang langgang meninggalkan desa dengan wajah pucat pasi.
Tanah terduduk lemas di samping jasad ayahnya, napasnya tersengal-sengal. Ia menatap tangannya, lalu ke arah longsoran. Apa yang baru saja terjadi? Ia tidak mengerti. Ia hanya merasakan amarah yang luar biasa, dan bumi seolah menjawabnya.
Penduduk desa yang lain terpaku, antara takjub dan ngeri. Bi Asih menangis memeluk Laras, tubuhnya gemetar hebat. Pak Kuwu menatap Tanah dengan pandangan yang sulit diartikan.
Dan dari kejauhan, di balik rerimbunan pohon di tepi hutan, sepasang mata tajam mengamati semua kejadian itu. Sosok itu berdiri tak bergerak, jubah gelapnya berkibar pelan ditiup angin. Pangeran Wirasakti, panglima kerajaan yang kehilangan segalanya karena kekejaman VOC, menyaksikan bagaimana seorang anak petani yang berduka, tanpa sadar telah memanggil kekuatan purba dari tanah yang diinjaknya. Secercah harapan, atau mungkin kerumitan baru, baru saja lahir di Desa Ciptagelar. Sang Pangeran tidak menunjukkan emosi, namun sorot matanya menyiratkan perhitungan yang dalam. Hari itu, tanah Priangan bukan hanya bergetar karena longsor, tapi juga karena bangkitnya sebuah kekuatan yang telah lama tertidur.
-- BERSAMBUNG --