"Budak atau bukan, kalian akan bekerja untuk Kompeni!" Sersan itu memberi isyarat kepada anak buahnya. Dua serdadu mendekati Kang Soma, mencoba menyeretnya.
Kang Soma mengelak. "Aku tidak akan pergi!" serunya. "Ini tanah leluhurku! Kalian tidak berhak memaksa kami!"
Tanah melihat ayahnya, bukan lagi sebagai petani sederhana, tetapi sebagai singa yang terluka. Keberanian ayahnya membakar sesuatu di dalam dirinya.
"Diam kau, anjing!" Sersan itu kehilangan kesabaran. Ia mencabut pistol dari pinggangnya. "Kau mau jadi contoh untuk yang lain, hah?"
Bi Asih menjerit. "Jangan, Kang! Jangan!"
Tapi Kang Soma tetap berdiri tegak. Matanya menatap lurus ke arah sersan itu, tanpa gentar. "Kalian boleh ambil hasil bumi kami, tapi kalian tidak akan pernah bisa mengambil harga diri kami."
DOR!
Suara letusan pistol itu memekakkan telinga, merobek pagi yang damai. Seekor burung pipit jatuh dari dahan pohon randu, kaget. Laras menjerit histeris. Bi Asih terhuyung seolah dadanya yang tertembus.
Tanah melihatnya seolah dalam gerakan lambat. Ayahnya, Kang Soma, terkejut sesaat. Lalu, setitik merah merekah di dadanya, melebar dengan cepat, menodai baju kampretnya yang lusuh. Kang Soma terhuyung, lututnya tertekuk, dan ia rubuh ke tanah yang begitu dicintainya. Matanya masih terbuka, menatap langit Priangan untuk terakhir kalinya.
"Ayah!" Jeritan Tanah pecah, melengking penuh kepedihan dan amarah yang tak tertahankan. Ia berlari menghampiri ayahnya, tak peduli pada serdadu-serdadu yang kini menodongkan bedil ke arahnya. Ia berlutut, memeluk tubuh ayahnya yang mulai dingin. Air mata mengalir deras, membasahi wajah dan tanah di bawahnya.
Sersan itu tertawa, suara tawanya serak dan kejam. "Itu akibatnya jika melawan Kompeni. Ada lagi yang mau coba-coba?"