"Tenang, Asih. Masuklah bersama Laras," perintah Kang Soma lembut, namun matanya tak lepas dari barisan serdadu berseragam biru tua yang kini memasuki gerbang desa. Di depan mereka, seorang opas, pribumi kaki tangan Kompeni, berjalan dengan angkuh. Di belakangnya, sekitar selusin serdadu VOC bersenjatakan bedil panjang dengan bayonet terpasang, dipimpin oleh seorang sersan Belanda berperawakan tinggi besar dengan kumis melintang dan wajah kemerahan terbakar matahari.
"Mana kuwu (kepala desa) kalian?" bentak sersan itu dengan logat Melayu pasar yang kaku, suaranya menggema membelah kesunyian yang mencekam.
Pak Kuwu, seorang pria tua yang bijaksana, keluar dari rumahnya dengan langkah gemetar, berusaha menyembunyikan ketakutannya. "Ada apa, Tuan Sersan? Pagi-pagi begini sudah datang ke desa kami."
Sersan itu tertawa mengejek. "Jangan pura-pura bodoh, kuwu. Kalian semua tahu kenapa kami datang. Tuan Besar di Batavia butuh lebih banyak tangan untuk membangun jalan dan benteng. Desa kalian mendapat kehormatan untuk menyumbangkan tenaga." Ia menyeringai. "Kerja paksa untuk kemuliaan Kompeni!"
Wajah-wajah penduduk desa semakin pucat. Kerja paksa. Kata-kata itu bagaikan cambuk yang menyengat. Mereka tahu apa artinya: meninggalkan sawah ladang, bekerja tanpa upah di bawah ancaman laras bedil, seringkali hingga ajal menjemput.
"Tapi Tuan," Pak Kuwu mencoba bernegosiasi, "Saat ini musim tanam. Jika kami tinggalkan sawah, kami akan kelaparan."
"Persetan dengan sawah kalian!" hardik sersan itu. "Perintah adalah perintah! Kumpulkan semua laki-laki dewasa! Sekarang!"
Beberapa serdadu mulai bergerak kasar, mendorong para lelaki yang ragu-ragu untuk berkumpul di tengah alun-alun desa. Tanah berdiri terpaku di samping ayahnya, tangannya terkepal erat. Ia melihat ketakutan di mata ibunya, melihat Laras kecil mencengkeram sarung ibunya.
Kang Soma melangkah maju. "Tuan Sersan," katanya dengan suara tenang namun tegas. "Kami petani. Kami hidup dari tanah ini. Jika kami pergi, siapa yang akan menanam? Siapa yang akan memberi makan anak istri kami?"
Sersan itu menatap Kang Soma dengan pandangan meremehkan. "Berani melawan, inlander?"
"Ini bukan melawan, Tuan. Ini adalah permintaan agar Tuan mengerti. Kami butuh hidup. Kami bukan budak," jawab Kang Soma, suaranya sedikit bergetar menahan amarah.