Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Usaha Rumahan Produk Makanan Jadi "Berhadapan" dengan Pelanggan yang Tak Memakai Masker

12 Agustus 2021   01:13 Diperbarui: 12 Agustus 2021   19:52 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelayan mengenakan masker dan pelindung wajah saat mempersiapkan pesanan makanan di Restoran Sederhana, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Senin (8/6/2020) | Sumber: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Just Sharing...

Kemarin sore saya belanja ke sebuah warung ala-ala angkringan. Model sajian dan dagangan makanan yang dijual mirip, cuman pilihannya menu jauh lebih banyak. 

Tak hanya aneka lauk yang digoreng, tapi juga beragam masakan sayur hingga jajanan pasar. 

Lapak yang dikelola para warga ini merupakan usaha rumahan yang menjajakan produk makanan. 

Masakan yang sudah jadi dan kadang masih hangat-hangatnya disajikan dalam sebuah wadah kemudian digelar di atas meja. Mulai dari yang digoreng hingga dikukus atau dibakar, makanan ringan maupun makanan berat. Termasuk sejumlah kue jajan pasar seperti nagasari, wajik, kue bantal,dan lainnya. 

Sayangnya tak ada dijual nasi putih, kecuali nasi bungkus. Selain itu, tak bisa makan di sana alias hanya dibungkus dan dibawa pulang. Dan sudah hampir sekian tahun, saya jadi salah satu pelanggan yang kerap belanja di sana. 

Sejak pandemi bergulir dari tahun lalu, deretan kedai makanan yang buka mulai jam 5 hingga jam 9 malam ini tidak pernah tutup. 

Rasanya mau Covid atau pun tidak, bahkan PPKM level 3 atau 2, tetap selalu diburu pembeli. Saya bahkan kadang kehabisan bila datang belanja di atas 7 malam. 

Mungkin karena kebutuhan makan selalu wajib sifatnya dan para pelanggan terasa dimudahkan beli lauk pauk yang sudah jadi ketimbang masak di rumah, sehingga mereka tak pernah putus belanja di sana. Saya perhatikan bahkan kadang di masa puasa pun tetap laris manis. 

Saya sendiri cukup terbantu dengan adanya lapak makanan yang sudah jadi ini, karena tugas jauh dari keluarga dan saya tak perlu harus ribet masak di rumah. Cukup beli di sana dan hanya masak nasi putih di rumah. 

Kelebihan membeli masakan jadi ialah seandainya tak sempat dimakan semua, bisa disimpan di lemari es agar bisa dipanaskan esok harinya untuk disantap. 

Apalagi semenjak pandemi, kebebasan makan di luar seperti restoran atau cafe jadi terbatas. Mesti lebih hati-hati dan waspada. 

Jadinya lebih memilih belanja di lapak warga karena selain cocok di lidah, pilihan menu beragam, dan bisa disimpan untuk dihangatkan kembali. 

Cukup membantu para pekerja yang merantau karena tugas, terutama bagi mereka yang tidak suka masak dan tidak pengen ribet, hehe. 

Pelanggan tak bermasker dan potensi paparan droplet di atas makanan

Selama masa pandemi, mungkin kita pernah menemukan ada saja pedagang makanan tak mengenakan masker. Padahal kita yang belanja di tempat dia sangat menjaga prokes dengan tetap memakai masker saat bertransaksi. 

Namun pengalaman yang saya temui kemarin malah berkebalikan. Ada satu dua pembeli tak mengenakan masker dan bergerombol di dekat saya. 

Karena posisi mereka yang bergeser dekat ke tempat saya, maka saat ada yang sedang berdiri menawar, setelahnya saya mundur. 

Bukan bubar jalan, tapi menjauh dari deretan makanan demi mempersilahkan mereka terlebih dahulu. Ada sekitar 5 atau 10 menit. Sembari mengamati. 

Ilustrasi | sumber: jalanjalankenai.com
Ilustrasi | sumber: jalanjalankenai.com

Mereka menanyakan harga lauk yang dijual dalam kelipatan 3 ribuan hingga 10 ribuan, tergantung mau beli harga berapa dan berapa banyak.

Tanpa mengenakan masker. Mungkin tanpa berpikir, apakah droplet dan cairan mulut dan hidung (bila tiba-tiba bersin), jatuh dan terpapar di atas makanan, padahal pedagangnya menggunakan masker. 

Kita tak menuduh mereka adalah orang tak bergejala, namun rasanya dikhawatirkan akan berisiko bila berkomunikasi dan bertransaksi dengan mereka yang mengabaikan prokes.

Rasanya tak elok juga bila kita sesama pelanggan yang menegur dan mengingatkan secara verbal. Khawatirnya itu bisa menyinggung orang lain, malah bisa membuat pelanggan tersebut tak lagi berniat belanja di situ. 

Padahal di masa pandemi apalagi PPKM seperti sekarang ini, usaha rumahan produk olahan makanan semacam ini juga perlu disokong sebagai sumber penghasilan warga. 

Para pedagang juga agak sungkan untuk menegur pembelinya, lantaran kuatir kehilangan pelanggan. Tapi di sisi lain, mereka juga khawatir terpapar oleh para pembeli yang mengabaikan prokes. 

Mungkin insight-nya adalah dari apa yang diamati kemarin, baik yang membeli maupun yang menjajakan dagangan, sama-sama menerapkan protokol kesehatan demi meminimalkan paparan virus. 

Dua cara sederhana adalah tetap mengenakan masker dan menjaga jarak kala berbelanja. Paling tidak dengan demikian, memberi rasa nyaman juga pada pengelola lapak. 

Harapannya dengan dengan kondisi tubuh sehat, mereka bisa tetap menjalankan usaha rumahan sebagai tiang ekonomi. 

Begitu juga para pelanggan lain yang ikutan belanja di sana, seperti saya misalnya, andai merasa risih lalu kemudian membatalkan untuk tidak ke sana lagi gara-gara pemandangan tersebut. 

Tentu sayang juga bila akhirnya para pengusaha rumahan ini kehilangan pelanggan lain hanya karena ulah satu dua orang yang tak mematuhi prokes saat berbelanja. 

"Mau tegur salah, tak tegur juga salah. Maunya sih kesadaran masing-masing," demikian kata pedagangnya ketika saya sekadar bercanda soal ada pembeli tak bermasker pada keesokan harinya.

Bicara soal pembeli tak bermasker, dari pengamatan sebenarnya tak hanya di lapak usaha rumahan produk masakan seperti ini. Tapi juga di kios kelontong komplek perumahan hingga warung bakso. 

Mereka umumnya tetangga samping kiri kanan atau yang tinggal di gang-gang berdekatan lokasi tempat belanja. 

Bisa jadi karena sudah kenal dekat sama pemilik usaha, sehingga dirasa tak apa-apa bertransaksi tanpa mengenakan masker. 

Saya yang kadang ikutan belanja dengan bermasker, mau negur juga tidak enak. Padahal kita samaan mengantri dan mengumpul pada kios sembako tersebut yang ruangannya ngga luas-luas juga. 

Sayangnya juga, pemeriksaan dan pengawasan kadang malah menjauh dari gang-gang dan jalan kecil. Lebih banyak aparat dan satpol PP hanya menyidak dan mengawasi di jalan-jalan utama dan komplek perumahan besar. 

Apa semua dikembalikan ke Pak RT atau Pak RW mungkin untuk pengawasan kelompok warga yang lebih kecil. Atau mungkin seperti kata ibu pedagang usaha makanan langganan saya itu: kembali pada kesadaran masing-masing. 

Ya sudahlah...

Salam, 

Penulis : Adolf Isaac Deda

Baca juga: Selamat Jalan Dokter Tigor Silaban, Anak Arsitek Masjid Istiqlal dan Janjinya Mengabdi di Papua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun