Bayangkan saja, nantinya akan lebih banyak orang belanja, lebih banyak bisnis bergerak, lapangan kerja bertambah, dan roda ekonomi berputar lebih kenceng. Intinya, suku bunga rendah menstimulasi pengeluaran daripada nyimpen uang.
Ini nyambung dengan alasan kedua, yaitu soal kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selama ini, konsumsi rumah tangga menjadi variabel paling dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kontribusinya mencapai sekitar 54 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) (BPS, 2024). Karena itu, wajar BI ambil kebijakan BI ini.
Namun, bergantung hanya pada konsumsi ga bijak, karena sifatnya ga berkesinambungan. Â Perlu juga untuk nge-boost investasi. Kenapa? Ga cuma karena kontribusi investasi mencapai angka 22-25 persen dari total PDB (BPS, 2024), melainkan juga karena investasi punya multiplier effect (efek pengganda) yang besar bagi ekonomi (penciptaan lapangan kerja, penyerapan tenaga kerja, peningkatan daya saing, dan sebagainya).
Alasan ketiga, saat ini tingkat inflasi lagi stabil. Sepanjang tahun 2024, rata-rata inflasi tahunan tercatat sebesar 2.3%. Angka ini masuk dalam koridor target BI sebesar 2.5%±1%, atau antara 1.5%-3.5%. Di tahun 2025, tingkat inflasi juga masih masuk dalam koridor target tersebut (amro-asia.org, 2025). Artinya, selama inflasi terkendali, BI punya 'ruang' kebijakan moneter untuk nurunin rate tanpa takut inflasi meledak.
Alasan keempat, mempersiapkan risiko global. Mempertimbangkan kondisi geopolitik dunia terkini, selalu ada kemungkinan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, mau ga mau Indonesia hampir pasti kena dampak. Dengan menurunkan suku bunga acuan, BI bisa menyiapkan "bantalan" (buffer) agar ekonomi Indonesia ga terlalu terdampak jika terjadi gejolak dari luar.
Apakah Dulu BI Pernah Menurunkan BI Rate Sesering Sekarang?
Yup, BI pernah nurunin suku bunga acuan yang cukup sering dalam satu tahun, terutama pas situasi darurat. Misalnya, pada tahun 2020 saat Pandemi Covid-19, BI potong BI Rate total 125 bps dalam setahun penuh, dari 5.00% menjadi 3.75% di akhir tahun. Kebijakan ini diambil karena global lagi resesi, inflasi rendah, dan butuh stimulus besar untuk memulihkan ekonomi (tradingeconomics.com, mufgresearch.com, 2024).
Sebelumnya lagi, pasca krisis finansial global 2008, BI juga nurunin BI Rate beberapa kali, setelah sebelumnya sempat naikin rate-nya ke angka 9.50% di periode Mei s.d. Oktober 2008 (cnbcindonesia.com, 2022). Waktu itu ekonomi global melambat drastis, permintaan ekspor turun, dan kekhawatiran resesi meningkat. BI mengambil langkah ini untuk mendorong likuiditas di perbankan dan menstimulasi ekonomi supaya ga ikut terperosok ke jurang resesi.
Meski sudah sering dilakukan, BI harus tetap berhati-hati dalam menerapkan kebijakan tersebut. Yang perlu diingat, tugas utama BI adalah menjaga inflasi. Kalau pertumbuhan ekonomi naik dengan cepat, maka inflasi juga bisa ikut naik akibat permintaan berlebih.
BI harus memastikan tingkat inflasi tetap di koridor targetnya. Inflasi ini kayak nyala api di kompor, sedangkan pertumbuhan ekonomi adalah hasil masakannya. Supaya hasilnya enak, maka nyala api pun harus pas, jangan terlalu besar atau terlalu kecil.
Di sisi lain, BI juga harus memperhatikan suku bunga acuan The Fed di AS. Berdasarkan data historis yang tersedia dalam periode 2023 – 2025, BI Rate selalu ditempatkan lebih tinggi daripada The Fed Rate. Soalnya, The Fed Rate yang naik bisa menekan atau melemahkan nilai rupiah, yang kemudian berdampak pada kenaikan inflasi impor.