Mohon tunggu...
Aditya N. Perdana
Aditya N. Perdana Mohon Tunggu... Genre Analyst-Story Crafter

Menulis seputar film dan serial dari sudut pandang genre, narasi, dan pengembangan cerita. Termasuk eksplorasi ide-ide orisinal. Untuk bisnis dan kolaborasi: https://linktr.ee/adityanperdana

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Arti Di Balik Kebijakan Bank Indonesia Menurunkan BI Rate Ke 4.75%

20 September 2025   01:11 Diperbarui: 20 September 2025   01:11 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ksatria Brachyura (kiri) dan Dimension (kanan), karakter-karakter karya pribadi, berdiri di depan Bank Indonesia (bantuan AI)

Kalau Anda buka dan masuk ke artikel ini, pasti Anda lagi penasaran nih dengan berita ekonomi baru-baru ini. Yup, Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuan mereka, yang dikenal sebagai BI Rate, menjadi 4.75%.

Saya pribadi penasaran dengan makna di balik kebijakan tersebut, terutama di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia, tumbuh 5.12% year-on-year pada triwulan II tahun 2025, yang bisa dibilang masih aman. Untuk itu, yuk kita obrolin singkat soal kebijakan ini! Siapin cemilan dan kopi sambil baca artikel ini boleh banget.

Di Luar Dugaan, BI Kembali Menurunkan BI Rate

Pada tanggal 17 September 2025 lalu, BI resmi memangkas BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) dari level sebelumnya 5.00% menjadi 4.75%.  Suku bunga acuan ini menjadi yang terendah sejak Oktober 2022. Ini adalah penurunan kelima terhitung sejak September 2024 (tradingeconomics.com, reuters.com, 2025).

Keputusan ini diambil dalam Rapat Dewan Gubernur BI pada tanggal 16 s.d. 17 September 2025. Gubernur BI, Bapak Perry Warjiyo, menyatakan bahwa langkah ini dilakukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sambil menjaga stabilitas rupiah dan inflasi (reuters.com, 2025).

Kebijakan tersebut bisa dibilang lumayan ngagetin ekspektasi pasar yang memprediksi bahwa BI Rate akan dipertahankan di angka 5.00%. Biasanya, jika pertumbuhan ekonomi naik, BI Rate cenderung dipertahankan, atau dinaikkan. Tujuannya untuk mencegah ekonomi menjadi “terlalu panas” dan memicu inflasi.

Kenapa BI Menurunkan BI Rate Sekarang?

Terdapat beberapa alasan di balik keputusan menurunkan BI Rate tersebut. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang belum optimal. Target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Bapak Presiden Prabowo untuk tahun 2025 adalah sebesar 5.3% (Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025).

Kebijakan BI ini menjadi semacam "suntikan adrenalin" untuk nge-boost pertumbuhan ekonomi, atau minimal supaya pertumbuhan ekonomi ga melambat. Tapi, kayak gimana sebenarnya kronologi logisnya? Di sini menariknya!

Sederhananya, BI Rate ini kayak 'induk' dari semua suku bunga di Indonesia. Kalau dia turun, efeknya bakal merembet ke suku bunga produk simpanan, kayak tabungan dan deposito, serta produk pinjaman di bank-bank komersial.

Bunga yang Anda peroleh dari nabung bakal lebih kecil, sehingga nabung menjadi kurang menggiurkan. Sebaliknya, pinjaman menjadi lebih 'seksi' karena bunganya lebih murah, baik untuk kredit konsumsi (mis. beli rumah via KPR) maupun kredit investasi (mis. mendirikan usaha).

Bayangkan saja, nantinya akan lebih banyak orang belanja, lebih banyak bisnis bergerak, lapangan kerja bertambah, dan roda ekonomi berputar lebih kenceng. Intinya, suku bunga rendah menstimulasi pengeluaran daripada nyimpen uang.

Ini nyambung dengan alasan kedua, yaitu soal kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selama ini, konsumsi rumah tangga menjadi variabel paling dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kontribusinya mencapai sekitar 54 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) (BPS, 2024). Karena itu, wajar BI ambil kebijakan BI ini.

Namun, bergantung hanya pada konsumsi ga bijak, karena sifatnya ga berkesinambungan.  Perlu juga untuk nge-boost investasi. Kenapa? Ga cuma karena kontribusi investasi mencapai angka 22-25 persen dari total PDB (BPS, 2024), melainkan juga karena investasi punya multiplier effect (efek pengganda) yang besar bagi ekonomi (penciptaan lapangan kerja, penyerapan tenaga kerja, peningkatan daya saing, dan sebagainya).

Alasan ketiga, saat ini tingkat inflasi lagi stabil. Sepanjang tahun 2024, rata-rata inflasi tahunan tercatat sebesar 2.3%. Angka ini masuk dalam koridor target BI sebesar 2.5%±1%, atau antara 1.5%-3.5%. Di tahun 2025, tingkat inflasi juga masih masuk dalam koridor target tersebut (amro-asia.org, 2025). Artinya, selama inflasi terkendali, BI punya 'ruang' kebijakan moneter untuk nurunin rate tanpa takut inflasi meledak.

Alasan keempat, mempersiapkan risiko global. Mempertimbangkan kondisi geopolitik dunia terkini, selalu ada kemungkinan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, mau ga mau Indonesia hampir pasti kena dampak. Dengan menurunkan suku bunga acuan, BI bisa menyiapkan "bantalan" (buffer) agar ekonomi Indonesia ga terlalu terdampak jika terjadi gejolak dari luar.

Apakah Dulu BI Pernah Menurunkan BI Rate Sesering Sekarang?

Yup, BI pernah nurunin suku bunga acuan yang cukup sering dalam satu tahun, terutama pas situasi darurat. Misalnya, pada tahun 2020 saat Pandemi Covid-19, BI potong BI Rate total 125 bps dalam setahun penuh, dari 5.00% menjadi 3.75% di akhir tahun. Kebijakan ini diambil karena global lagi resesi, inflasi rendah, dan butuh stimulus besar untuk memulihkan ekonomi (tradingeconomics.com, mufgresearch.com, 2024).

Sebelumnya lagi, pasca krisis finansial global 2008, BI juga nurunin BI Rate beberapa kali, setelah sebelumnya sempat naikin rate-nya ke angka 9.50% di periode Mei s.d. Oktober 2008 (cnbcindonesia.com, 2022). Waktu itu ekonomi global melambat drastis, permintaan ekspor turun, dan kekhawatiran resesi meningkat. BI mengambil langkah ini untuk mendorong likuiditas di perbankan dan menstimulasi ekonomi supaya ga ikut terperosok ke jurang resesi.

Meski sudah sering dilakukan, BI harus tetap berhati-hati dalam menerapkan kebijakan tersebut. Yang perlu diingat, tugas utama BI adalah menjaga inflasi. Kalau pertumbuhan ekonomi naik dengan cepat, maka inflasi juga bisa ikut naik akibat permintaan berlebih.

BI harus memastikan tingkat inflasi tetap di koridor targetnya. Inflasi ini kayak nyala api di kompor, sedangkan pertumbuhan ekonomi adalah hasil masakannya. Supaya hasilnya enak, maka nyala api pun harus pas, jangan terlalu besar atau terlalu kecil.

Di sisi lain, BI juga harus memperhatikan suku bunga acuan The Fed di AS. Berdasarkan data historis yang tersedia dalam periode 2023 – 2025, BI Rate selalu ditempatkan lebih tinggi daripada The Fed Rate. Soalnya, The Fed Rate yang naik bisa menekan atau melemahkan nilai rupiah, yang kemudian berdampak pada kenaikan inflasi impor.

Apa Yang Akan Terjadi Selanjutnya?

Yang perlu menjadi perhatian adalah kebijakan moneter ini dampaknya ga langsung dan segera. Ada yang namanya "mekanisme transmisi kebijakan moneter", yang artinya efek dari perubahan suku bunga acuan BI baru akan terasa di sektor riil setelah beberapa waktu.

Belum lagi, terdapat pula beberapa faktor lain yang ikut memengaruhi, kayak kepercayaan pelaku usaha dan masyarakat untuk ngambil pinjaman, kondisi internal bank (pertimbangan rasio kredit macet), dan permintaan pasar.

Selain itu, kebijakan BI ini ga bisa sukses sepenuhnya tanpa dukungan kebijakan-kebijakan lain dari pemerintah. Contohnya, kemudahan berusaha lewat reformasi regulasi, insentif pajak untuk investor asing atau UMKM, pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas SDM untuk mengurangi skill mismatch antara angkatan kerja dengan kebutuhan tenaga kerja di industri, hingga subsidi energi buat sektor industri biar produksi lebih murah dan kompetitif.

Ibaratnya, kebijakan BI cuma membantu nyalain mesin mobil. Kalau infrastruktur jalannya rusak, bahan bakarnya ga tersedia atau langka, dan apalagi banyak pungli di pos-pos perjalanan, tentu kebijakan BI ga akan optimal untuk bikin Indonesia menjadi negara maju seperti yang diimpikan.  

Kalau semuanya sinkron dan bersinergi, Indonesia bisa tumbuh lebih kuat di tengah badai global. Gimana menurut Anda? Share pendapat di komentar, yuk!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun