Mohon tunggu...
Aditya N. Perdana
Aditya N. Perdana Mohon Tunggu... Genre Analyst-Story Crafter

Menulis seputar film dan serial dari sudut pandang genre, narasi, dan pengembangan cerita. Termasuk eksplorasi ide-ide orisinal. Untuk bisnis dan kolaborasi: https://linktr.ee/adityanperdana

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

She-Hulk: Defending Wanda, Chapter 5: I'm Writing This As You're Reading It

11 Agustus 2025   14:58 Diperbarui: 11 Agustus 2025   14:58 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cover Chapter 5 yang dibuat dengan bantuan AI

Versi Bahasa Indonesia

Disclaimer:

Cerita ini adalah karya fiksi penggemar (fanfiction) yang terinspirasi dari karakter dan konsep dalam Marvel Cinematic Universe (MCU), milik Marvel Studios dan Disney. Kisah ini berlatar waktu setelah peristiwa di film Doctor Strange: Multiverse of Madness dan Deadpool & Wolverine, serta serial TV WandaVision, She-Hulk: Attorney At Law, dan Daredevil: Born Again.

Saya tidak memiliki hak atas karakter seperti Jennifer Walters (She-Hulk), Wong, America Chavez, Nikki Ramos, Matt Murdock (Daredevil), K.E.V.I.N. maupun elemen TVA dan multijagat. Karya ini dibuat murni untuk hiburan pribadi dan komunitas, tanpa tujuan komersial. Semua karakter orisinal (seperti Agent Praxis, Judge Vignya, dan saya sang penulis) merupakan ciptaan saya sendiri. Untuk kolaborasi, silakan hubungi: [adityanperdana@gmail.com]

Portal TVA menutup saat Jen Walters – masih dalam wujud She-Hulk, Wong, dan America Chavez kembali ke kantor hukum Jen di Earth-616. Sidang Wanda dari Earth-838, yang ditunda setelah konfrontasi tegang, masih terasa berat di udara.

Tubuh tinggi menjulang She-Hulk menyusut dan terungkap wajah manusia yang lelah. Tidak lama kemudian, Nikki masuk dengan segelas kopi di tangan. Matanya berbinar penuh semangat.

Guys, kalian udah balik! Menang ga? Wanda bebas? Cerita dong!”, tanyanya dengan penasaran. Tapi, cuma keheningan yang menjawab—ekspresi Jen murung, pandangan Wong tenang dan fokus ke depan, sedangkan America terlihat gelisah.

Jen mengeluarkan napas keras sambil mengusap rambut kusutnya. Wong dengan tenang mendekati dan menyemangati Jen. “Masih ada jalan keluar, Jen. Saya percaya kamu bakal nemuin”. Jen cuma membalas dengan tarikan napas panjang penuh keraguan.

Lalu, Wong dan America saling mengangguk dan kembali ke Kamar-Taj, meninggalkan Jen bersama Nikki. Nikki duduk di meja dan melambaikan tangannya persis di depan muka Jen. “Bumi ke Jen! Halo! Ayo, makan snack yuk—kamu kelihatan kayak habis kalah dan dapet juara kedua deh!”.

Suara ceria Nikki terasa jauh buat Jen. Kantor jadi buram dengan adegan slow-motion—suara Nikki terdengar bak dengungan samar, sedangkan jam dinding berdetak layaknya degup jantung yang lambat. Pikiran Jen melayang ke momen sidang dimana tatapan tajam Judge Vignya menusuk ruangan. Kilasan senyum licik Agent Praxis juga muncul di ingatannya.

Tiba-tiba, suara Nikki menyambar, “…Murdock tadi nelpon, btw”. Jen kaget, fokusnya kembali. “Eh, gimana? Murdock?”, tanya Jen dengan antusias. Nikki senyum, “Iya, Matt Murdock. Tadi ninggalin pesen. Kayak-nya penting deh”. Mood Jen agak sedikit terangkat dan segera mengambil ponselnya.

Ponsel berdering, dan terdengar suara Matt Murdock yang sudah tidak asing lagi. “Jen? Udah lama ya”. “Iya, kayak-nya udah terlalu lama”, Jen membalas. Dulu, mereka pernah dekat, tapi kemudian hidup dan pekerjaan memaksa mereka berpisah.

Suara Jen berubah lebih lembut dan pelan, “Aku turut berduka cita soal Foggy ya, Matt. Tahun lalu, aku telpon kamu…”. Suara Matt pun melemah. “Iya, suasana lumayan berantakan waktu itu, dengan Kingpin dan gugus tugas anti-vigilante. Maaf ya, Jen, aku…aku ga balas. Makasih ya”.

Matt terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Cuma mau denger suara teman. Situasi di sini lagi susah”. Jen tersenyum dan bicara ke kamera, “Wah, kode mantan—CLBK atau beneran cuma teman? Harus lebih peka nih”.

Lalu, Jen gantian cerita soal sidang Wanda—multijagat, TVA, dan semua kekacauannya. Matt tertegun, “Aku kira masalah superhero kamu cuma vigilante biasa di L.A. Multijagat? Ada Daredevil yang lain ga ya?”. Jen tertawa dan bicara ke kamera lagi, “Kapan nih Ben Affleck bisa cameo?”.

Mereka mengakhiri perbincangan via telepon dengan semangat saling dukung, dan potensi bersua lagi di masa depan. Meski tidak menyelesaikan masalah masing-masing, obrolan ini lumayan mendongkrak mood-nya Jen.

Dengan semangat yang kembali membara, Jen memutar ulang memori sidang di kepalanya sambil mondar-mandir di kantor. Jen teringat ekspresi gelisah Agent Praxis. “Dia pasti nyembunyiin sesuatu”, Jen bergumam.

Jen pun menghubungi Wong dan America, lalu ketiganya bergegas pergi ke perpustakaan TVA. Di sana, mereka menghabiskan waktu berjam-jam mempelajari fail TVA. Sayangnya, tidak ada hasil nyata yang diperoleh. “Ini semua sia-sia!!!”, Jen geram.

Tiba-tiba, Jen berubah menjadi She-Hulk, lalu merobek layar kamera dan masuk ke dunia nyata. Di sana ada aku—yup, aku, si penulis—sedang mengetik bab ini sambil ditemani kopi di atas mejaku.

Aku benar-benar tersentak saat She-Hulk berdiri di depanku. Kejadian ini tidak ada di naskah. “Ganti ceritanya ga? Kisah Wanda ga boleh berakhir buruk!”, pinta She-Hulk.

Aku spontan melompat sambil gelagapan, “Wow, wow, wow, Jen! I..Ini udah plot terbaik—percaya deh sama aku. Ending-nya udah ditentuin!”.

Aku sengaja tidak menjelaskannya secara rinci, membuat Jen berpikir ending-nya bakal sedih. Atau mungkin sebenarnya aku cuma terlalu takut untuk kasih penjelasan lebih lanjut. Ya sudahlah.

Saat aku masih bicara dengan Jen, adegan kembali lagi ke perpustakaan TVA. Di sana, Wong dan America, yang masih menelusuri fail TVA, terdiam saat Wong menemukan dokumen aneh tanpa label.

Dahi Wong berkerut, sementara America mendekat, ikut mengecek, matanya melebar. “Ini… ini terasa penting”, Wong bergumam. “Tapi, kita butuh bantuan supaya bisa ngerti”.

America mengangguk, ekspresinya bercampur penasaran dan khawatir. “Tapi, siapa yang bisa bantu kita?”, America bertanya. Keduanya tidak tahu…belum.

Kembali ke adegan antara She-Hulk dan aku—tidak yakin dengan kata-kataku, She-Hulk keluar dari ruanganku. Dia membuat kerusakan di kantor Marvel Studios—properti berjatuhan, lampu-lampu berkedip—untuk mencari K.E.V.I.N. – si AI canggih yang mengatur narasi di MCU.

Sementara itu, di perpustakaan TVA, Wong membuka portal sihir untuk mencari bantuan. America melanjutkan analisis dokumen rahasia dengan semangat membara.

Di saat yang sama, She-Hulk masuk ke markas canggih K.E.V.I.N. dengan tampilan layar data futuristik. K.E.V.I.N. mengeluarkan suara datar, “Kamu lagi?”. Obrolan mereka terdengar intens. Tapi, sebelum semua selesai, layar berubah jadi gelap.

(Bersambung…)

English Version

Disclaimer: 

This is a fanfiction story inspired by characters and concepts from the Marvel Cinematic Universe (MCU), owned by Marvel Studios and Disney. The story is set after the events of Doctor Strange: Multiverse of Madness, Deadpool & Wolverine, as well as the TV series WandaVision, She-Hulk: Attorney at Law and Daredevil: Born Again.

I do not own characters such as Jennifer Walters (She-Hulk), Wong, America Chavez, Nikki Ramos, Matt Murdock (Daredevil), K.E.V.I.N. or elements of the TVA and multiverse. This work is created purely for personal entertainment and community enjoyment, with no commercial intent. All original characters (e.g., Agent Praxis, Judge Vignya and me the writer) are my own creations. For collaboration, please contact: [adityanperdana@gmail.com]. 

The TVA portal closed as Jen Walters – still in her She-Hulk’s form, Wong, and America Chavez returned to Jen’s law office on Earth-616. The trial of Wanda from Earth-838, postponed after a tense standoff, lingered heavy in the air.

Jen’s towering She-Hulk form shrunk, revealing a weary human face. Her shoulders slumped with exhaustion. Nikki burst in with coffee mug in hand. Her eyes sparkled with excitement.

“Guys! You’re back! Did we win? Is Wanda free? Spill it!”, she curiously asked the million dollar question. But the only response was a heavy silence—Jen’s expression dark and brooding, Wong’s stoic gaze fixed ahead, and America shifting uncomfortably.

Jen exhaled sharply, running a hand through her tangled hair. Wong stepped forward and calmly comforted Jen. “There’s always a way out, Jen. I believe you’ll find it”. Jen responded with a long, skeptical sigh.

Then, Wong and America exchanged a nod and headed back to Kamar-Taj, leaving Jen alone with Nikki. Nikki plopped onto the desk, waving a hand in front of Jen’s face. “Earth to Jen! Hello! Come on, let’s get you a snack—you look like you lost to second place!”.

Her usual upbeat chatter felt distant to Jen. The office was blurring into slow-motion scenes —Nikki’s voice was like a faint hum, while the wall clock was ticking like a lumbering heartbeat. Jen’s mind replayed the trial where Judge Vignya’s piercing gaze were cutting through the courtroom. Agent Praxis’ tricky smirk was also flashed in her memory.

Suddenly, Nikki’s voice cut through. “…Murdock called, by the way”. Jen blinked, snapping back. “Wait, what? Murdock?”, she asked, her tone lifting. Nikki grinned, “Yeah, Matt Murdock. Left a message. Sounded urgent-ish”. Jen’s mood lifted slightly as she grabbed her phone.

The phone rang, and Matt Murdock’s familiar voice answered. “Jen? Been a while”. “Too long”, Jen replied. They’d had a brief romantic fling before life and work pulled them apart.

She softened, saying, “I’m sorry about Foggy, Matt. I tried calling you last year…”. Matt’s voice softened. “Yeah, it was a mess with Kingpin and the anti-vigilante crackdown. I… I’m sorry I didn’t pick up. Thanks, though”.

He paused, then chuckled lightly. “Just needed to hear a friendly voice. Things are rough here”. Jen, breaking the fourth wall, smirked at the camera. “Oh, the exes’ code—old love rekindled or just friends? Gotta watch that line”.

She then spilled the Wanda trial saga—the multiverse, the TVA, the mess. Matt was stunned. “I thought your superhero problems were L.A.’s usual vigilante stuff. A multiverse? Wonder if there’s another Daredevil out there!”. Jen laughed, breaking the fourth wall again. “When’s Ben Affleck gonna cameo here?”.

They ended the call with mutual encouragement, hinting at a possible future connection, though it didn’t solve their respective cases, especially hers. However, it kind of boosted her mood.

Energized, Jen paced back and forth in her office, replaying the trial in her head. Agent Praxis’ nervous twitch stood out. “He’s hiding something” she muttered.

She then contacted Wong and America, and soon the trio rushed to the TVA library. They spent hours sifting through files with zero result. “This is pointless!”, Jen growled.

Suddenly, she transformed into She-Hulk, ripping through the screen and stepping into the real world. There I was – yep, me, the writer – typing this chapter accompanied by a coffee on my desk.

I was genuinely startled as She-Hulk loomed over me. This was unscripted. “Change the story! This can’t end badly for Wanda!”, she demanded.

I spontaneously jumped, stammering, “Whoa, whoa, whoa, Jen! Th…this is the best plot—trust me, the ending’s set!”. I intentionally avoided specifics, letting her assume a sad fate. Or maybe I was just too scared to say anything else. Oh, well.  

As I was speaking, the scene shifted back to the TVA library. There, Wong and America, still reading through the archives, paused as Wong pulled a strange, unmarked document.

His forehead was furrowing, while America was leaning in, her eyes widening. “This… this feels important”, Wong muttered. “But we need help to figure it out”.

America nodded. Her expression was a mix of curiosity and concern. “But, who can help us?”, she wondered. Neither of them knew who to turn to…not yet.

The scene cut back to Jen and I—unconvinced, she stormed out of my room. She was smashing through Marvel Studios’ office—props crashing, lights flickering—as she hunted for K.E.V.I.N. – an enhanced AI who was the author of the MCU.

Meanwhile, in the library, Wong opened a magical portal, stepping through to seek aid. America stayed behind, continued to analyze the cryptic document with fierce determination.

At the same time, She-Hulk entered into K.E.V.I.N.’s high-tech lair, data screens pulsing. K.E.V.I.N. hummed flatly, “You again?”. Their exchange crackled with tension. But, before it resolved, the screen cut to black.

(To Be Continued…)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun