Mohon tunggu...
Aditya N. Perdana
Aditya N. Perdana Mohon Tunggu... Genre Analyst-Story Crafter

Menulis seputar film dan serial dari sudut pandang genre, narasi, dan pengembangan cerita. Termasuk eksplorasi ide-ide orisinal. Untuk bisnis dan kolaborasi: https://linktr.ee/adityanperdana

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Kamar Kosan Di Depan Tangga

6 Juli 2025   16:15 Diperbarui: 6 Juli 2025   16:15 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan:

Cerita ini terinspirasi dari pengalaman pribadi yang dimodifikasi untuk kepentingan fiksi horor. Beberapa detail mungkin terdengar tidak masuk akal… tapi semuanya berangkat dari hal nyata.

Pada tahun ketiga kuliahku di kota yang dikenal sebagai Kota Hujan, kehidupan kampus terasa semakin berat. Hujan yang nyaris setiap hari membasahi jalan-jalan beraspal dan trotoar berlumut seolah menjadi latar yang tidak pernah absen.

Satu tahun sebelumnya, aku bersama tiga sahabatku—Beni, Hari, dan Deri—menyewa sebuah kontrakan sederhana di dekat kampus. Letaknya agak terisolasi, dikelilingi pohon-pohon rindang dan jalan setapak yang jarang dilalui kendaraan.

Setelah kontrak setahun berakhir, kami memutuskan untuk berpindah ke kosan masing-masing, mencari tempat yang lebih praktis dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Aku dan Beni memilih kosan yang sama, sebuah bangunan dua lantai dengan lorong sempit dan cat dinding yang mulai mengelupas. Kamar yang tersedia untukku berada di lantai dua, tepat di pojokan, persis di depan tangga.

Posisinya membuat kamar ini minim cahaya matahari, baik pagi maupun siang. Orang-orang bilang, kamar seperti ini secara mistis kurang baik—entah karena kurangnya sinar matahari atau karena letaknya yang menghadap tangga.

Konon katanya kamar dengan letak seperti itu menjadi jalur lalu lalang makhluk tidak kasat mata. Aku tidak terlalu mempedulikan kabar itu. Kamar ini tersedia, murah, dan aku butuh tempat secepatnya.

Hari dan Deri, di sisi lain, memilih kosan terpisah yang jaraknya tidak terlalu jauh. Hari menyukai kosan yang ramai dengan penghuni lain, sedangkan Deri lebih memilih tempat yang tenang, hampir mirip dengan kontrakan kami sebelumnya.

Awalnya, hidup di kosan baru ini terasa biasa saja. Aku menghabiskan hari-hari dengan kuliah, tugas, dan sesekali nongkrong bersama ketiga sahabatku. Namun, beberapa minggu setelah pindah, keanehan mulai merayapi kehidupanku.

Semuanya bermula dari mimpi-mimpi buruk. Aku sering terbangun di tengah malam, jantungan, dengan bayangan kabur tentang sosok tak jelas yang mengintip dari sudut kamar.

Anehnya, mimpi-mimpi itu hanya muncul saat aku tidur sendirian. Jika Deri, yang dulu sekamar denganku di kontrakan, menginap, malamku berjalan tenang tanpa gangguan. Karena itu, aku sering mengajak Deri untuk menginap, meski dia kadang menggodaku karena dianggap takut sendirian.

Suatu malam, saat aku sedang belajar untuk ujian tengah semester, kejadian lain terjadi. Pukul satu dini hari, ketika suasana kosan sudah senyap, aku mendengar suara perempuan dari kejauhan.

Suaranya seperti sedang mengaji, namun nadanya aneh—tidak seperti lantunan Al-Qur’an yang biasa kudengar, terutama karena bukan bulan Ramadan atau mendekati waktu subuh.

Aku mencoba mengabaikannya, fokus pada buku di depanku. Namun, suara itu semakin jelas, seolah-olah berpindah mendekat ke arah kamarku. Jantungku berdegup kencang. Dengan tangan gemetar, aku menutup buku, mematikan lampu, dan bergegas menyelimuti diri, berharap suara itu lenyap.

Kejadian yang lebih menyeramkan terjadi beberapa malam kemudian. Aku belajar hingga menjelang subuh, dan karena kelelahan, aku memutuskan untuk tidur. Baru saja aku memejamkan mata, tubuhku terasa berat, seperti ditindih sesuatu yang tidak terlihat.

Tiba-tiba, suara-suara ramai dan kencang menggema di telingaku—seperti kerumunan orang yang berbicara serentak, namun tidak ada satu pun kalimat yang bisa kupahami. Aku tersentak bangun, jantungku berdegup kencang. Kamar terasa dingin, meski jendela tertutup rapat. Aku tidak berani melanjutkan tidur lagi.

Sejak kejadian itu, aku mulai menghindari tidur di kamarku sendirian. Aku sering meminta izin untuk menginap di kamar Beni, yang terletak di lantai atas, menghadap langsung ke halaman luar. Kamarnya terasa lebih terang dan nyaman, entah karena sinar matahari yang masuk atau karena suasananya yang lebih hidup.

Di sana, aku merasa tenang, setidaknya untuk sementara. Kadang, aku juga memilih pulang ke rumah orang tuaku, meski jaraknya cukup jauh, hanya untuk menghindari kamar itu. Rasa takut mulai menggerogoti, dan aku merasa ada yang salah dengan tempat itu.

Aku bertahan di kosan itu kurang dari setahun. Akhirnya, aku memutuskan untuk pindah, tidak sanggup lagi menghadapi keanehan yang terus berulang. Beberapa bulan setelah pindah, suatu sore seusai waktu Maghrib, aku tidak sengaja melewati kosan itu saat berjalan menuju arah kampus.

Hujan baru saja reda, meninggalkan genangan-genangan kecil di trotoar. Saat melintas di depan bangunan itu, pandanganku tertarik ke arah kamar lamaku di lantai dua. Dari balik kegelapan di depan pintu kamar, aku melihat suatu sosok.

Bentuknya tinggi, kurus, dan hitam seperti bayangan. Matanya putih, bersinar tajam, menatap langsung ke arahku. Tubuhku membeku. Sosok itu hanya muncul sekilas sebelum menghilang ke dalam kegelapan.

Panik, aku berlari meninggalkan tempat itu. Namun, anehnya, setiap kali aku berlari, aku selalu kembali ke jalan yang sama, melewati kosan itu lagi. Aku mencoba beberapa kali, namun hasilnya sama—seolah ada kekuatan yang menarikku kembali.

Jalanan terasa sepi, tidak ada satu pun orang di sekitar, padahal waktu baru saja lewat Maghrib. Jantungku berdegup kencang, keringat dingin membasahi dahi.

Tiba-tiba, aku merasakan tepukan di pundakku. Aku tersentak, hampir menjerit. Ketika menoleh, aku melihat Beni berdiri di belakangku, tersenyum seperti biasa.

“Alhamdulillah”, gumamku dalam hati, lega melihat wajah sahabatku. “Kenapa lari-larian, bro?”, tanyanya sambil terkekeh. Ia mengajakku mampir ke kosan itu untuk sekadar mengobrol.

Namun, saat aku menatap lagi wajahnya, matanya berubah—putih, bersinar, persis seperti sosok yang kulihat tadi. Aku terpaku, tidak mampu bergerak. Dunia di sekitarku seolah memudar, menyisakan kegelapan yang menyelimuti.

…Aku merasa…aku seperti pernah mengalami kejadian serupa…

...Tunggu!!!!...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun