Gempuran pernyataan kontroversial pejabat sepanjang 2025 bukan sekadar blunder komunikasi, ini adalah bukti kegagalan struktural dalam memahami denyut nadi rakyat. Dari demo yang diremehkan hingga legitimasi pemerasan, yang terjadi adalah emotional disconnect yang mengancam stabilitas sosial.
Annisa Mahesa mungkin lupa bahwa demo adalah last resort warga ketika aspirasi tak lagi didengar. Alih-alih merespons dengan telinga hati, yang keluar adalah pernyataan yang justru memantik amarah lebih besar. Menurut riset Journal of Social Psychology (2024), respons penguasa yang tidak empatik terhadap demonstrasi berpotensi meningkatkan eskalasi konflik hingga 67%.
Pernyataan Wamenag yang menyebut pemerasan THR sebagai "budaya" adalah pengabihan sistematis terhadap ketidaknyamanan rakyat kecil. Data LBH Jakarta mencatat, 8 dari 10 pedagang pasar merasa terintimidasi oleh praktik semacam ini. Empati, seperti ditegaskan Carl Rogers, seharusnya membuat pejabat merasakan beban itu, bukan justru membenarkannya.
Pernyataan Menkes bahwa "orang kaya lebih sehat dan cerdas" bukan hanya keliru secara ilmiah, tetapi juga menunjukkan betapa terkoyaknya jarak antara penguasa dan yang dipimpin. Sementara di Pati, kenaikan PBB 250% disampaikan dengan nada arogan, seolah rakyat harus menerima begitu saja tanpa protes.
Pernyataan Fadli Zon tentang tragedi 1998 bukan hanya menyakiti korban, tetapi juga membuka luka kolektif bangsa. Dalam perspektif neurosains, pengingkaran semacam itu memicu collective trauma yang berbahaya bagi memori nasional.
Islam mengajarkan bahwa empati adalah inti dari kepemimpinan. Rasulullah SAW bersabda: "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka." Ini berarti, pejabat harusnya menjadi sponge yang menyerap keluhan rakyat, bukan shield yang membentengi diri dari kritik.
Krisis empati ini adalah cermin dari krisis legitimasi. Jika pejabat terus berbicara atas rakyat bukan untuk rakyat, maka yang terjadi adalah erosi kepercayaan yang berbahaya bagi demokrasi. Sudah waktunya empati bukan sekadar wacana, tetapi core metric dalam kepemimpinan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI