Mohon tunggu...
Aditya Epriansah
Aditya Epriansah Mohon Tunggu... Guru

Menulis adalah cara sederhana untuk mengabadikan pikiran, sebelum waktu menghapusnya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru, Apakah Kita Hanya Masuk ke dalam Mimpi Buruk Franz Kafka Setiap Pagi?

24 Agustus 2025   05:45 Diperbarui: 23 Agustus 2025   23:05 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setiap pagi, kita masuk ke dalam ruang kelas. Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: Apa sebenarnya yang kita lakukan di sini? Apakah kita benar-benar "mendidik", atau hanya menjalankan sebuah ritual absurd yang dirancang oleh sebuah mesin birokrasi raksasa yang tak pernah kita pahami?

Bayangkan ini: Seorang anak dengan mata berbinar ingin bercerita tentang penemuannya pada serangga di taman. Namun, kita harus memotongnya karena "jatah waktu" pelajaran kita hanya 35 menit dan "target materi" tentang struktur teks laporan observasi harus tercapai. Kita meminta dia duduk, diam, dan mencatat definisi yang sudah ada di buku paket. 

Apa yang kita lakukan ini, jika bukan sebuah bentuk kekerasan terhadap keingintahuan? Bukankah ini adalah sebuah mimpi buruk ala Franz Kafka, dimana kita, para guru, menjadi kedua belah pihak: sekaligus algojo yang menjalankan sistem dan korban yang terhimpit olehnya? Kita terjebak dalam labirin bernama Aspirasi Pendidikan Bermutu Untuk Semua yang justru, dalam prakteknya, menggilas mutu individual setiap anak.

Dalam novel Kafka, karakter utamanya berperang melawan birokrasi yang tak masuk akal, impersonal, dan menghancurkan jiwa. Itu persis seperti ruang guru kita.  

Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) bukan lagi sekadar pengenal, tapi menjadi penjara yang mereduksi seorang manusia yang kompleks menjadi sebaris kode data. Kehebatan seorang anak akhirnya diukur oleh kesesuaian datanya dengan algoritma Dapodik, bukan oleh cahaya di matanya ketika akhirnya memahami sebuah konsep.

Kurikulum yang "Kitab Suci" menjadi skenario absurd. Kita dipaksa untuk "selesai membahas" semua bab, meski kita tahu persis separuh kelas masih kebingungan. Kita mengejar ketuntasan administratif, bukan ketuntasan pemahaman. Kita lebih takut pada pemeriksaan dokumen daripada pada blank stare di wajah siswa kita.

Proyek Mercusuar seperti "sekolah penggerak" atau "digitalisasi" sering kali jatuh sebagai perintah dari atas yang tidak menyentuh realitas lapangan. Kita sibuk mengikuti pelatihan untuk memenuhi kuota, mengunggah foto-foto kegiatan ke portal, bukan untuk benar-benar berefleksi: Apakah ini yang murid-murid saya butuhkan?

Kita begitu sibuk mengisi lembar penilaian, mengejar indeks, dan memenuhi administrasi, sampai kita lupa untuk melihat keajaiban yang sedang tumbuh tidak merata di setiap bangku. Kita terjebak dalam absurditas: ingin menciptakan generasi hebat, tapi caranya adalah dengan menyemprotkan pupuk dan pestisida yang sama kepada semua jenis tanaman.

Lalu, bagaimana melawan mimpi buruk ini? Apakah kita harus keluar dari sistem? Belum tentu. Tapi kita bisa membangun oase kesadaran di dalamnya dengan merangkul filosofi Wabi-Sabi.

Wabi-Sabi adalah konsep estetika Jepang yang menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan, kesederhanaan, dan hal-hal yang tidak kekal. Inilah senjata pamungkas kita.

Setiap kali seorang anak tidak sesuai dengan standar, itu bukan alarm kegagalan. Itu adalah retakan yang indah. Itu adalah penanda bahwa dia unik. Anak yang nilainya jeblok tetapi mampu memimpin teman-temannya dalam kelompok adalah sebuah masterpiece Wabi-Sabi. Tugas kita adalah merayakannya, bukan menambalnya paksa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun