Oleh: Adi Putra (Adhyp Glank) Â
Ketua Umum Kaum Muda Syarikat Islam Â
Pendidikan bukan sekedar transfer pengetahuan, melainkan alat pembebasan yang mampu memutus rantai penindasan, baik hegemoni kekuasaan maupun cengkeraman kapitalisme. Paulo Freire dalam "Pedagogy of the Oppressed" mengingatkan kita bahwa pendidikan harus membangkitkan "kesadaran kritis", bukan sekadar mencetak tenaga kerja murah untuk kepentingan industri.Â
Di Indonesia, di mana ketimpangan sosial masih lebar, pendidikan harus menjadi gerakan emansipatoris yang mengembalikan martabat manusia sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Â
Pendidikan Pembebasan dalam Konteks Tradisi Indonesia dan Falsafah Sunda, Dalam tradisi Sunda, konsep "Silih Asah, Silih Asuh, Silih Asih" yang mengajarkan bahwa pendidikan adalah proses mutualistik untuk saling mengasah kecerdasan, saling mengasuh dalam kemanusiaan, dan saling mengasihi dalam kebersamaan. Nilai ini selaras dengan pemikiran Freire yang menolak model pendidikan "banking system", di mana guru hanya sebagai penabung informasi ke kepala siswa. Sedangkan Pendidikan harus hidup, dialogis, dan mengakar pada kearifan lokal. Â
Sayangnya, sistem pendidikan kita justru terjebak dalam pragmatisme kapitalistik. Sekolah dijadikan sebagai "Pabrik ijazah", sementara muatan karakter dan budi pekerti terpinggirkan. Akibatnya, kita melihat krisis moral di kalangan pelajar, bukan karena mereka nakal, melainkan karena sistem gagal membangun kesadaran kolektif tentang tanggung jawab sosial. Â
Kaum Muda Syarikat Islam (KMSI) mengkritik atas Pelibatan TNI dalam Penanganan Siswa Nakal, sebagai Solusi yang Keliru, Belakangan ini, Gubernur Jawa Barat mengusulkan pelibatan TNI untuk menangani siswa nakal. Kebijakan ini berbahaya secara filosofis dan praktis  karena Mengganggu Tupoksi TNI, mengingat TNI adalah alat negara yang tugas utamanya menjaga kedaulatan bangsa. Melibatkan mereka dalam urusan disiplin siswa justru mengalihkan fokus dari kesiapan pertahanan.
Jangan hanya menilik dari Negara lain seperti China atau Korea menerapkan wajib militer sebagai bagian dari pendidikan bela negara, tetapi ingat, secara konteks budaya dan historis Indonesia sangat berbeda dengan mereka. Kita punya akar budaya perihal senjata, racun dalam tradisi perang yang kita kenal sebagai tari perang yang hampir tersebar di seluruh wilayah Nusantara, ini bukan berarti harus diadakan militerisasi pendidikan sebagai jawaban zaman. Â
Menyuburkan persepsi kecurigaan atas Kegagalan Guru BK (Bimbingan Konseling). Kebijakan ini mengindikasikan ketidakpercayaan negara terhadap kapasitas Guru BK. Padahal, pemerintah telah menaikkan honor guru dan seharusnya memperkuat SDM Guru BK, bukan lantas "menyerahkan setiap masalah siswa nakal ke TNI". Jika kinerja Guru BK tidak optimal, solusinya adalah pelatihan intensif dan evaluasi sistemik, bukan melompat ke intervensi militer bagi siswa.
Secara obyektif kita bersama berpikir bahwa Pendidikan Karakter Dimulai dari Keluarga, seperti pandangan Freire yang menekankan bahwa pendidikan adalah proses "humanisasi". ini sesuai dengan sila ke 2 Pancasila dan menjadikan keluarga sebagai ruang pertama pembentukan karakter secara kontinuitas yang baik daripada militerisasi, kemudian sebagai perpanjangan tangan pemerintah negara harus memastikan orang tua terdidik dan Guru BK berdaya.Â