Sebenarnya, jika dilihat sisi kemanusiaan, memang memberikan kesempatan untuk pelaku pelanggar hukum untuk menyesali perbuatan sebelum mereka harus mendekam di balik jeruji selama beberapa tahun lamanya.
Serta memberikan kesempatan bagi korban dan masyarakat untuk memaafkan serta mengambil jalan tengah kelanjutan permasalahannya. Terkhusus bagi anak, mungkin bisa diberikan opsi pengembalian kerugian dalam hal ada korban, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali kepada orang tua/Wali, diikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, atau pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan sesuai Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Untuk itu Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan (PK) dapat menjadi ujung tombak di kemasyarakatan, sesuai arahan Menteri Hukum dan HAM Bapak Yasonna Laoly. Artinya, harus adanya pemahaman hal ini karena seiring berjalannya waktu aturan juga flexibel, mengikuti arus perkembangannya, karena jika masih terpaku pada aturan konvensional akan menimbulkan beberapa efek yang kurang baik bagi pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Tujuan Restorative Justice ini adalah memulihkan kembali hubungan para pihak dan kerugian yang diderita oleh korban kejahatan serta memulihkan kembali hubungan sebelum terjadinya tindak pidana dan diharapkan dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi majelis hakim peradilan pidana dalam meringankan sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tersebut, atau bahkan upaya diversi yang merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)