Pemerintah kembali menggulirkan stimulus ekonomi di tengah tekanan kondisi global. Langkah ini tentu dimaksudkan untuk menjaga daya beli masyarakat sekaligus meredam potensi gejolak sosial. Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah stimulus ini cukup efektif? Atau justru menjadi obat sementara yang membuat masalah struktural semakin terabaikan?Dampak jangka pendek memang terasa. Uang segar yang dibagikan lewat bansos atau insentif bisa menggerakkan konsumsi. Pasar tradisional ramai, pedagang kecil bisa sedikit lega, bahkan roda transportasi ikut bergerak. Tetapi kita tidak boleh menutup mata: ketergantungan terhadap stimulus berisiko membuat masyarakat menunggu bantuan ketimbang mencari cara untuk bangkit mandiri.Selain itu, beban fiskal negara menjadi catatan serius. Anggaran negara bukan tanpa batas. Jika stimulus terus digelontorkan tanpa perhitungan jangka panjang, siapa yang akan menanggungnya? Jawabannya jelas: generasi berikutnya melalui utang yang menumpuk. Maka, pemerintah seharusnya berhati-hati agar kebijakan darurat tidak berubah menjadi jebakan permanen.
Kalau dibandingkan dengan negara lain, Indonesia sebenarnya tidak sendirian. Amerika Serikat, Jepang, bahkan beberapa negara Asia Tenggara juga melakukan hal serupa. Bedanya, negara-negara tersebut sering mengimbangi stimulus dengan penciptaan lapangan kerja baru, pelatihan tenaga kerja, atau insentif pajak bagi industri strategis. Sementara di Indonesia, penekanan seringkali masih sebatas “bagi-bagi bantuan”, bukan pada pemberdayaan jangka panjang.
Perspektif rakyat kecil juga penting disoroti. Bagi seorang pedagang kaki lima, bansos mungkin bisa menutup modal harian. Untuk sopir ojol, insentif bisa jadi penambal biaya bensin. Tetapi mereka tetap menghadapi masalah struktural: harga kebutuhan pokok yang terus naik, lapangan kerja yang tidak pasti, serta akses modal yang terbatas. Jika masalah ini tidak dipecahkan, maka stimulus hanya menjadi “plester” yang menutupi luka, bukan obat yang menyembuhkan.
Karena itu, kritik konstruktif harus diarahkan ke sisi implementasi. Transparansi penyaluran bansos menjadi kunci agar tidak ada yang bocor di jalan. Lebih jauh, pemerintah sebaiknya berani menggeser fokus: bukan sekadar membagikan uang, tetapi juga membangun sistem ekonomi yang lebih kokoh. Misalnya, lewat dukungan UMKM berbasis digital, pelatihan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri, serta mempercepat pembangunan sektor-sektor produktif seperti pertanian dan energi terbarukan.
Jika hal ini dilakukan, stimulus akan terasa adil dan berkelanjutan. Bukan sekadar angka-angka di laporan APBN, melainkan nyata dirasakan oleh masyarakat. Karena pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ekonomi tidak hanya diukur dari stabilitas statistik, tetapi dari seberapa besar rakyat kecil bisa tersenyum karena merasa lebih aman menghadapi hari esok.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI