Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

"Bercerai" dengan Saham Perusahaan Batu Bara

27 November 2018   10:09 Diperbarui: 27 November 2018   12:18 1443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: biz.kompas.com

Kabut asap itu sebagian berasal dari hasil pembakaran batu bara yang masif di pabrik dan di rumah. Oleh karena terus berlangsung selama bertahun-tahun, kadar polusi menjadi bertumpuk, dan kualitas udara di sana memburuk. Hal itu pun kemudian menimbulkan "bibit-bibit" penyakit saluran pernapasan bagi warga setempat.

sumber ilustrasi: http://disk.mediaindonesia.com/
sumber ilustrasi: http://disk.mediaindonesia.com/
Untuk mengatasi masalah itu, Pemerintah Tiongkok kemudian menjatah impor batu bara. Dengan demikian, polusi udara di sana bisa ditekan semaksimal mungkin. Sayangnya, hal itu berdampak besar pada harga batu bara dunia. Oleh karena permintaan turun, sementara stok berlimpah, harga batu bara menjadi murah meriah.

Hal itu jelas bukan kabar baik bagi produsen batu bara nasional. Pasalnya, "napas" perusahaan mereka sangat bergantung pada harga pasar. 

Kalau harga batu bara tidak kunjung naik, bisa-bisa ada banyak perusahaan batu bara yang gulung tikar, dan jika hal itu sampai terjadi, bagaimana nasib para pekerja yang menggantungkan hidup dari sana?

Menukiknya harga batu bara jelas berimbas pada harga saham beberapa emiten di Bursa Efek Indonesia. Sebut saja saham ADRO. Saham yang dinaungi PT Adaro Energy Tbk tersebut melorot dari harga 1.745 pada tanggal 2 Juli 2018 hingga harga 1.275 pada 26 November 2018. Valuasi perusahaan pun menjadi sangat "murah" dengan Price Earning Ratio (PER) 7 kali.

Hal itu tentu jadi sebuah "anomali". Sebab, PT Adaro dikenal pemain "kelas kakap" di industri batu bara. Menurut data dari CNBC Indonesia, sepanjang tahun 2018, perusahaan itu mampu memproduksi 50 juta metrik ton batu bara. Jumlah yang tentunya sangat besar, tetapi, sayangnya, justru berbanding terbalik dengan harganya saat ini.

sumber ilustrasi: https://akcdn.detik.net.id/visual
sumber ilustrasi: https://akcdn.detik.net.id/visual
Saham lainnya yang juga terserat oleh turunnya harga batu bara ialah INDY (Indika Energy Tbk) dan PTBA (PT Tambang Batu Bara Bukit Asam). Secara fundamental, kedua perusahaan itu punya kualitas yang baik. 

Di tengah krisis harga seperti sekarang, manajemennya mampu menjaga arus kas. Biarpun penjualan agak seret, masih ada dana yang mengalir masuk ke "kantong" perusahaan.

Selain itu, utang kedua perusahaan itu juga terjaga baik. Tidak seperti perusahaan Bumi Resources, yang menanggung utang banyak, padahal bisnisnya sedang lesu, mereka memiliki rasio utang yang rendah (DER), yakni di bawah 1 kali.

Pengetatan "ikat pinggang" juga terus dilakukan. Efisiensi terjadi di hampir semua lini, dan manajemen mencoba mengatur supaya operasional dapat tetap berjalan dengan lancar meskipun "badai" harga batu bara seolah tak ada habis-habisnya menghajar ekonomi perusahaan.

Walaupun manajemen sudah berupaya maksimal menyelamatkan perusahaan, ternyata itu tak berpengaruh banyak pada tingkat kepercayaan investor. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun