Mohon tunggu...
Adibah TazkiyyatunNafsi
Adibah TazkiyyatunNafsi Mohon Tunggu... Mahasiswa UINSA

Saya seorang Mahasiswa Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Tingkat Pengangguran di Indonesia: Analisis Penyebab dan Solusi

24 Februari 2025   01:02 Diperbarui: 24 Februari 2025   01:02 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tingkat pengangguran merupakan salah satu indikator penting dalam menilai kesehatan perekonomian suatu negara. Di Indonesia, meskipun telah ada berbagai upaya untuk menekan angka pengangguran, masalah ini masih menjadi tantangan serius, terutama di tengah dinamika ekonomi global dan dampak pandemi COVID-19. Artikel ini akan menganalisis penyebab tingginya tingkat pengangguran di Indonesia, menyajikan data terkini, serta menawarkan solusi untuk mengatasi masalah ini

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2023, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mencapai 5,86%, atau sekitar 8,42 juta orang. Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, yang mencapai 6,49% pada Agustus 2022. Namun, tingkat pengangguran masih relatif tinggi, terutama di kalangan pemuda dan lulusan baru.

Penyebab Tingginya Tingkat Pengangguran di Indonesia

1. Ketidaksesuaian Keterampilan dengan Kebutuhan Pasar Kerja

   Ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja dengan kebutuhan pasar kerja merupakan masalah serius yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Fenomena ini sering disebut sebagai skills mismatch, di mana lulusan pendidikan atau pelatihan tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan oleh industri. Banyak lulusan pendidikan tinggi tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 35% pengangguran di Indonesia adalah lulusan SMA dan perguruan tinggi. Hal ini disebabkan oleh ketidaksesuaian keterampilan yang mereka miliki dengan kebutuhan pasar kerja.

2. Dampak Pandemi COVID-19 

   Pada tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar -2,07%. Sektor yang paling terdampak adalah pariwisata, transportasi, dan ritel. Pembatasan sosial dan penutupan usaha menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat. Menurut BPS, pada 2020, 2,67 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan akibat pandemi. Ketidakpastian global menyebabkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang sempat menyentuh level Rp 16.000/USD pada Maret 2020. Pemerintah meningkatkan utang untuk membiayai program pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi. Pada 2023, rasio utang terhadap PDB mencapai 40%, meningkat dari 30% sebelum pandemi. Pandemi menyebabkan banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Tingkat pengangguran terbuka (TPT) naik dari 5,23% pada Februari 2020 menjadi 7,07% pada Agustus 2020. Pada 2023, TPT masih berada di angka 5,86%. 

3. Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Merata

   Sebagian besar infrastruktur, seperti jalan tol, pelabuhan, dan bandara, terkonsentrasi di Pulau Jawa. Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), 60% infrastruktur nasional berada di Jawa. Investasi asing dan domestik lebih banyak mengalir ke wilayah-wilayah yang sudah maju. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa 70% realisasi investasi pada 2023 terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Menurut BPS, pendapatan per kapita di DKI Jakarta mencapai Rp 30 juta per bulan, sementara di Papua hanya Rp 2,5 juta per bulan. Dan Kualitas SDM di luar Jawa masih tertinggal, terutama dalam hal pendidikan dan keterampilan teknis. Hal ini menghambat pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.

4. Automasi dan Digitalisasi  

   Banyak tenaga kerja tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja di era digital. Menurut BPS, hanya 12% tenaga kerja di Indonesia yang memiliki keterampilan digital dasar. Automasi telah menggantikan banyak pekerjaan rutin dan manual, terutama di sektor manufaktur, pertanian, dan jasa. Menurut McKinsey, 23% pekerjaan di Indonesia berisiko tergantikan oleh automasi dalam dekade berikutnya. Sementara pekerjaan konvensional berkurang, permintaan untuk pekerja dengan keterampilan digital seperti pemrograman, analisis data, dan manajemen sistem meningkat. Namun, kesenjangan keterampilan masih menjadi tantangan besar. Digitalisasi memungkinkan pekerjaan jarak jauh (remote work) dan fleksibilitas waktu kerja. Namun, hal ini juga menuntut adaptasi cepat dari tenaga kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun