Saya bisa tegas saat anak laki-laki saya merengek minta diajari naik motor saat di usianya menginjak 10 tahun. Tapi, entah kenapa, soal HP, saya jadi orang tua yang tak sekeras itu. Di rumah kami, ada wifi yang langsung menyambung ke PC di ruang keluarga. Ruangan ini saya jadikan tempat anak belajar, menonton YouTube, membaca, atau sekadar menikmati serial di Netflix.Â
Ada juga tablet yang penggunaannya ketat kami batasi. Namun, baru-baru ini, saat usianya menginjak 12 tahun, saya dan pasangan memutuskan untuk memberinya HP pribadi. Alasan utamanya adalah kebutuhan sekolah, terutama dengan kurikulum Merdeka yang menuntut penggunaan teknologi. Walau begitu, kami tetap memberinya batasan ketat.
Di sisi lain, anak saya sering merayu, kali ini soal sepeda listrik. Dengan nada setengah bercanda, ia minta dibelikan. Saya tersenyum, mengerti, karena sering kami berbicara soal ini. Tentang bagaimana sepeda motor, atau sepeda listrik, belum benar-benar jelas aturannya. Tapi tak jarang juga saya merasa berat saat mengingat di lingkungan kami, hanya anak saya yang belum menyentuh mesin roda dua.
Banyak orang tua di kompleks kami yang akhirnya menyerah pada tuntutan efisiensi. Jarak ke sekolah sekitar 2 kilometer, dan sepertinya mayoritas orang tua berpikir sama: daripada anak kelelahan, lebih baik diberi motor atau sepeda listrik. Saya tak menyalahkan mereka. Setiap orang tua punya pertimbangan masing-masing.
Telepon Genggam dan Dunia Baru
Di tengah diskusi soal sepeda listrik, HP datang menyusup pelan-pelan, seperti hantu yang tak terlihat tapi terasa hadir. Era digital ini sudah memasuki hampir semua sudut kehidupan, membawa kita ke dunia baru yang serba cepat dan penuh distraksi. Telepon genggam adalah pintu gerbang ke dunia itu---dunia yang membuat anak-anak kita melayang-layang di antara apa yang nyata dan maya.
Sebenarnya, apakah ada waktu yang benar-benar tepat untuk memberikan anak HP? Mungkin jawaban saya terkesan pragmatis: "karena kebutuhan sekolah." Tetapi jauh di dalam hati, saya masih bertanya-tanya, apakah ini benar-benar untuk mereka atau sekadar memudahkan saya sebagai orang tua? Memberikan HP sama dengan membuka pintu untuk pengaruh yang tak selalu bisa saya kendalikan.
Pikiran saya terbang pada buku karya Jonathan Haidt, The Anxious Generation, yang banyak membahas bagaimana HP, terutama media sosial, berdampak besar pada kesehatan mental anak-anak. Menurutnya, lonjakan masalah kesehatan mental remaja, terutama pada anak perempuan, berkorelasi dengan penggunaan media sosial. Ia menyerukan aksi kolektif untuk menanggulangi masalah ini.
Tapi, kritik terhadap Haidt juga mengemuka. Banyak yang berpendapat bahwa Haidt terlalu menyederhanakan masalah. Namun demikian, wacana tentang dampak media sosial ini telah sampai ke telinga banyak pembuat kebijakan. Bahkan, pemerintah Australia sedang mempertimbangkan untuk menaikkan batas usia minimal penggunaan media sosial dari 13 tahun menjadi 16 tahun. Di Inggris, beberapa akademi telah melarang penggunaan HP di sekolah mereka selama jam belajar dan istirahat. Inisiatif ini dipicu oleh kekhawatiran akan meningkatnya masalah kesehatan mental pada anak-anak.
Teknologi dan Batasan
Namun, apakah larangan semacam itu benar-benar solusi terbaik? Tidak mudah menjawabnya. Di satu sisi, teknologi tak bisa dihindari. Dunia sudah terhubung secara digital, dan anak-anak kita akan semakin sering terlibat dalam ruang-ruang maya ini. Menentang teknologi rasanya seperti bertarung dengan bayangan sendiri. Akan tetapi, kita juga tak bisa menutup mata terhadap dampak negatif yang mungkin muncul. Setiap hari, kasus anak-anak yang terjebak dalam kekerasan daring, perundungan siber, atau ketergantungan pada media sosial menghiasi berita.
Di sini, tugas orang tua dan pendidik menjadi krusial. Bukan soal melarang secara total, melainkan bagaimana mendampingi anak untuk menggunakan teknologi dengan bijak. Sama halnya dengan mengajari anak makan makanan sehat, kita juga perlu membimbing mereka mengembangkan kebiasaan digital yang sehat. Misalnya, menetapkan waktu "bebas perangkat" selama beberapa jam setiap harinya, atau memilih konten yang sesuai dengan usia mereka.
Kita harus bijaksana dalam mengambil sikap. Melarang anak menggunakan HP mungkin terkesan seperti jalan pintas yang mudah, namun masalah sebenarnya lebih kompleks. Dunia maya, dengan segala ancaman dan manfaatnya, akan tetap ada. Larangan total hanya akan membuat anak semakin penasaran, sementara keterbukaan yang disertai dengan aturan akan memberikan mereka ruang untuk belajar dan beradaptasi.
Dampak pada Kehidupan Sosial Anak
Berbicara soal HP, tidak mungkin lepas dari fenomena FOMOÂ (Fear of Missing Out)Â yang kini begitu kuat mencengkeram generasi muda. Media sosial mempertegas ketakutan akan ketinggalan berita, tren, atau momen-momen penting dalam kehidupan virtual teman-teman mereka. Sebagai orang tua, saya juga merasakan keresahan ini. Akankah anak saya tertinggal secara sosial jika tidak diberikan akses pada teknologi yang sama seperti teman-temannya?
Saat kami akhirnya memutuskan memberikan HP untuk anak kami, ada perasaan ragu. Namun, kebutuhan sekolah menjadi argumen yang tak terbantahkan. Di usia 12 tahun, sekolah anak saya mulai memperkenalkan tugas-tugas yang membutuhkan aplikasi tertentu dan akses internet yang cepat. Kami pun membuat aturan: HP hanya boleh digunakan untuk keperluan sekolah dan komunikasi dengan orang tua. Di luar itu, waktunya dibatasi.
Tentu saja, kami sadar bahwa aturan semacam ini tidak bisa selalu diterapkan dengan sempurna. Anak-anak, dengan segala kecerdasannya, akan selalu menemukan cara untuk menembus batasan yang kita buat. Tapi setidaknya, memberikan HP pada anak kami dengan kontrol yang ketat adalah cara kami untuk tidak sepenuhnya melepaskan kendali.
Bersepeda dan Pilihan Lain
Terkadang saya berpikir, apakah HP dan teknologi adalah satu-satunya cara bagi anak-anak kita untuk belajar dan berkembang di era modern ini? Saya selalu mendorong anak saya untuk bersepeda ke sekolah---jauh lebih aman, sehat, dan ramah lingkungan dibandingkan memberikan motor atau sepeda listrik. Kami juga bersepakat untuk membatasi penggunaan teknologi saat di rumah, terutama sebelum tidur. Bersepeda adalah cara saya membangun kesadaran bahwa tidak semua kemajuan teknologi adalah solusi terbaik.
Namun, tetap saja, saya tak bisa sepenuhnya menghindari pertanyaan yang menghantui banyak orang tua modern: kapan waktu yang tepat untuk memberikan HP pada anak? Apakah ada batasan usia yang jelas? Jawabannya mungkin bervariasi, tergantung pada kebutuhan, lingkungan, dan budaya keluarga. Tapi satu hal yang pasti, kita perlu lebih dari sekadar alasan praktis untuk membuat keputusan ini.
Memberikan anak HP, seperti memberikan mereka kendaraan, bukan hanya soal alat. Ini soal tanggung jawab dan kesadaran akan dampak yang lebih besar. Dunia digital yang mereka masuki penuh dengan kemungkinan---baik dan buruk. Dan kita, sebagai orang tua, harus lebih cerdas dalam menuntun mereka melalui dunia yang semakin rumit ini.
Menavigasi Teknologi Bersama Anak
Akhirnya, waktu yang tepat untuk memberikan HP pada anak bukan soal angka atau usia tertentu. Ini tentang bagaimana kita, sebagai orang tua, menyiapkan mereka untuk menavigasi dunia teknologi yang serba cepat. Kita perlu menjadi bagian dari perjalanan digital mereka, bukan hanya sebagai pengawas, tetapi sebagai pemandu yang bijak.
Dalam dunia yang penuh distraksi dan potensi bahaya ini, keputusan kapan memberikan HP pada anak adalah salah satu langkah kecil yang bisa membantu mereka menjadi individu yang lebih bertanggung jawab, bijak, dan sehat secara mental. Teknologi bukanlah musuh, tapi alat yang harus digunakan dengan penuh kesadaran. Dan kita, sebagai orang tua, punya peran besar dalam memastikan anak-anak kita tahu cara menggunakannya dengan bijak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI