Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dua Perbedaan Esensial Antara Media Massa dan Media Sosial

19 Januari 2023   12:13 Diperbarui: 19 Januari 2023   12:21 1920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber dari web kemdikbud.go.id

Kalau boleh dibagi ke dalam dua kutub besar sumber informasi orang zaman sekarang, kita bagi simpel menjadi dua. Satu bagian adalah dari media massa berupa situs berita, koran, majalah, dan lainnya. Satu lagi dari media sosial. 

Media sosial adalah platform tempat orang menyajikan informasi dari dirinya sendiri kepada orang lain. Kompasiana adalah media sosial karena semua informasi yang disajikan narablog berkaitan dengan dirinya sendiri.

Sejak maraknya internet mudah diakses siapa saja, sumber informasi dari media sosial mendominasi. Ia seolah menjadi kebenaran faktual. 

Orang kemudian mengutipnya mentah-mentah dan menyebarluaskannya. Dari situ kita kenal informasi yang tidak lengkap dan informasi hoax.

Ada beberapa perbedaan antara media sosial dan media massa. Ini patut dipahami sehingga kita bisa memberikan pencerahan. 

Dengan demikian, orang tak lagi menyamakan informasi dari media sosial atau media massa. Apa saja kurang lebih perbedaan di antara keduanya.

Kesatu, tanggung jawab media massa institusi, media sosial pribadi

Jika ada imbas dari informasi yang disebarluaskan media massa baik dalam bentuk berita, foto, grafis, opini, atau karikatur, pembaca atau pihak lain bisa mengajukan keberatan. Ke mana pengajuan keberatan itu? 

Jika merujuk pada aturan mutakhir, semua keberatan yang berkenaan dengan konten atau produk jurnalistik, mesti diarahkan ke Dewan Pers. Nanti Dewan Pers yang akan melakukan verifikasi apakah konten itu melanggar atau tidak.

Media massa akan melihat produk jurnalistik itu sebagai tanggung jawab institusi. Jadi, meskipun yang menulisnya adalah reporter, yang akan maju jika ada persoalan adalan kantor, bukan kepada si empunya tulisan.

Sebab, media massa meski dalam skup kecil ada ruang redaksi yang memungkinkan menyaring terlebih dahulu sebuah produk sebelum dilempar kepada publik. Dengan demikian, ada lapisan demi lapisan sebelum produk jurnalistik itu diunggah ke platform-nya.

Sementara itu, jika di media sosial, tanggung jawab ada pada perorangan. Maka itu, jika kita mengunggah satu hal di media sosial, imbasnya terkena kepada pribadi. 

Di media sosial yang kita miliki, hanya kita yang mengurusnya. Ini barangkali beda dengan sebuah akun media sosial sebuah kantor atau perusahaan. Tapi, esensinya, media sosial adalah urusan perorangan.

Kedua, produk media massa karya jurnalistik, media sosial belum tentu

Mereka yang melaporkan peristiwa, mencatat, menulis, dan mewartakan disebut sebagai reporter atau wartawan. Ruang lingkup umumnya disebut jurnalis. 

Semua produk media massa dikenal sebagai produk jurnalistik. Sebab, menulis, melaporkan, memaparkan fakta yang riil tersaji kemudian meramunya dan mengunggahnya untuk publik.

Tersebab demikian, karya media massa lazim dikenal sebagai produk jurnalistik. Ada berita yang saban hari bisa dinikmati. 

Ada opini yang kadang bisa dibaca. Ada karikatur yang sesekali tampil dan membuat kita mengernyitkan dahi sedikit untuk menangkap maknanya.

Bagaimana dengan media sosial? Apakah foto sebuah kejadian kecelakaan di akun Instagram seseorang juga disebut karya jurnalistik? Belum tentu. Informasi yang ada di media sosial tentu tidak sama dengan yang ada di media massa. 

Namun, informasi awal dari media sosial bisa menjadi sumber berita untuk media massa. Informasi yang tersaji di media sosial kemudian diverifikasi. 

Verifikasi ini diksi yang superpenting. Sebab, verifikasi adalah langkah jurnalis atau juga warganet untuk melihat apakah informasi itu bisa dipercaya atau tidak.

Di Bandar Lampung sering ada informasi masuknya buaya ke perairan Teluk Lampung. Bahkan ada video yang seram, ada seekor buaya sedang memangsa orang. 

Karena disebarluaskan di khalayak warganet Bandar Lampung, akhirnya itu menjadi informasi yang diketahui umum. Namun, apakah itu benar? 

Di sini kuncinya. Kalau tak ada verifikasi, kita belum tahu informasi itu sahih atau tidak, valid atau tidak, tepercaya atau tidak, dan sebagainya.

Setelah ada media massa yang melakukan verifikasi, ketahuan akhirnya, video buaya memangsa manusia ada di negara lain, bahkan bukan di Indonesia. Itulah bukti kalau informasi di media sosial memang tak melulu benar.

Tapi, apakah memungkinkan sebuah karya di media sosial bisa dikategorikan sebagai karya jurnalistik? Oh, bisa saja. 

Di Kompasiana, ada banyak opini yang dibangun atas dasar analisis yang baik, mendalam, tajam, dan bisa dipercaya. Ditambah lagi ada pengakuan centang biru dari administator kepada si empunya tulisan. 

Opini itu karya jurnalistik. Opini adalah tulisan berupa pendapat kita terhadap satu hal. 

Kita kemudian mendedahkannya ke dalam bahasa kita dan meramunya menjadi gagasan yang segar. Jadi, di platform media sosial pun kita bisa menulis karya atau produk jurnalistik.

Kira-kira, sejauh ini, tulisan yang saya bikin ini, karya jurnalistik, bukan? Hayo, siapa jawab. 

Ya benar, ini karya jurnalistik berupa opini saya terhadap satu hal. Saya ingin menjelaskan kepada khalayak beda media massa dan media sosial berdasar pengetahuan saya selama ini. 

Karena objek yang saya tulis ini adalah fakta di lapangan dan tersaji luas, karya ini terkategori jurnalistik.

Di Kompasiana ada yang sering menulis resensi buku dan resensi film? Apakah keduanya masuk kategori karya jurnalistik? Ya, benar.

Keduanya masuk kategori karya jurnalistik. Artikel berupa resensi adalah karya jurnalistik. Jadi, menjadi jelas, bukan, di platform media sosial pun kita tetap bisa menghasilkan karya jurnalistik baik berupa berita hasil reportase sendiri maupun opini.

Tapi, tidak semua yang ada di sini bisa dijadikan rujukan. Ini lebih pada kepercayaan publik kepada orang yang menghasilkan tulisan itu.

Saya punya kenalan baik dan relatif dikenal banyak orang. Namanya Linda Christanty. Linda sekarang penulis kolom budaya di Kompas saban Sabtu.

Linda pernah bikin buku yang diterbitkan Gramedia. Judul bukunya kalau saya tak salah Jangan Tulis Kami Teroris.

Linda menulis itu semua awalnya tidak langsung berupa buku. Semua reportase dia itu ditulis di dinding Facebook. Facebook sudah jelas, dong, media sosial. Tapi di situ kita bisa menulis karya jurnalistik.

Karena dinilai bagus, semua catatan perjalanan Linda tadi mewujud buku dan diterbitkan Gramedia. Keren, kan? 

Makanya, gunakan media sosialnya dengan bijak. Jangan mengisi dengan sampah, tapi isilah dengan nutrisi bergizi tinggi untuk otak dan kecerdasan literasi kita.

Saya cukupkan pada dua bagian besar apa perbedaan antara media massa dan media sosial. Insyaallah lain waktu dilanjutkan dan diperdalam. [Adian Saputra]

Foto pinjam dari sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun