Di era yang serba cepat ini, di mana kita dipacu untuk terus produktif, tampil sempurna, dan selalu tampak baik-baik saja di media sosial, mencintai diri sendiri sering terdengar seperti slogan yang terlalu sederhana untuk bisa dijalani. Tapi percayalah, justru di tengah hiruk-pikuk tuntutan dunia modern inilah seni mencintai diri menjadi fondasi penting bagi kesehatan mental yang kokoh.
Saya ingin bicara dengan Anda, bukan sebagai ahli psikologi atau pakar motivasi, tetapi sebagai sesama manusia yang juga pernah merasa lelah, merasa tidak cukup, merasa tertinggal, dan merasa kehilangan arah. Kita semua pernah (atau sedang) berada di titik itu. Dan dari sanalah saya belajar bahwa mencintai diri bukan soal memanjakan diri atau berhenti berusaha, tapi tentang mengenali, menerima, dan merawat diri dengan penuh kejujuran dan kelembutan.
Mungkin kita tumbuh dalam lingkungan yang jarang mengajarkan bahwa kita berhak merasa lelah, kecewa, atau bahkan marah terhadap diri sendiri. Kita diajarkan untuk menuntut kesempurnaan, untuk selalu jadi versi terbaik tanpa diberi ruang untuk menjadi biasa-biasa saja. Akibatnya, banyak dari kita tumbuh dengan ekspektasi yang tak masuk akal terhadap diri sendiri. Ketika gagal, kita menyalahkan diri tanpa ampun. Ketika berhasil, kita merasa masih kurang.
Seni mencintai diri justru lahir dari keberanian untuk mengakui bahwa kita tidak sempurna, dan tidak apa-apa. Ini tentang menyadari bahwa kita punya luka, dan itu tidak membuat kita lebih rendah dari siapa pun. Ini juga tentang memberi ruang bagi diri sendiri untuk bernapas, untuk istirahat, dan untuk tidak selalu berjuang.
Saya tahu, di tengah arus pembanding yang tak ada habisnya dari unggahan prestasi teman di LinkedIn, feed liburan teman di Instagram, hingga standar kesuksesan yang dipajang di mana-mana, mudah sekali bagi kita untuk merasa gagal. Tapi bukankah itu justru alasan mengapa kita harus mulai belajar mencintai diri?
Mencintai diri berarti berani berkata, "Aku cukup" meski belum mencapai target-target yang orang lain anggap penting. Mencintai diri berarti bangun pagi dan berkata, "Aku berhak bahagia" meskipun hari sebelumnya kita menangis semalaman. Ini bukan tentang menjadi egois, tapi tentang menyadari bahwa diri kita juga manusia, dan pantas untuk diperlakukan dengan penuh kasih sayang.
Kesehatan mental tidak bisa dibangun di atas kebencian terhadap diri sendiri. Ia tumbuh dari penerimaan yang hangat, dari komunikasi yang jujur dengan diri sendiri, dan dari komitmen untuk menjaga diri sama seperti kita menjaga orang-orang yang kita cintai. Anehnya, kita sering lebih mudah berbelas kasih pada teman yang sedih, daripada kepada diri sendiri. Kita tahu harus mengatakan, "Tidak apa-apa, kamu sudah berusaha" kepada orang lain, tapi kita lupa mengatakannya pada diri sendiri.
Padahal, bukankah kita ini rumah pertama dan terakhir bagi diri kita? Kita hidup dalam tubuh ini dengan pikiran ini dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Maka mencintai diri bukan pilihan mewah, tapi kebutuhan utama. Karena hanya dengan dasar cinta itulah kita bisa berdiri tegak bahkan saat hidup menghempas.
Saya juga tidak mengatakan bahwa ini mudah. Butuh proses panjang dan jatuh bangun. Kadang kita merasa sudah mencintai diri, tapi kemudian kembali mengkritik diri dengan keras. Dan itu juga tidak apa-apa, Karena prosesnya memang tidak linear. Tapi, dengan kesadaran yang terus dijaga pelan-pelan kita bisa membangun hubungan yang lebih sehat dengan diri sendiri.