Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Hikayat Multatuli: Jejak, Kritik, dan Pesan Moral dari Lebak untuk Dunia

20 September 2025   07:20 Diperbarui: 21 September 2025   18:51 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu bagian dari Museum Multatuli di Rangkasbitung, Lebak, Banten (Dok. Museum Multatuli https://museummultatuli.id/)

Max Havelaar bukan sekedar novel kolonial, melainkan hikayat kemanusiaan yang mengingatkan suara keadilan, meski datang dari satu orang, bisa menggema dan menembus batas zaman.

Jika suatu hari berkesempatan singgah ke Rangkasbitung, jangan lewatkan untuk melangkahkan kaki ke Museum Multatuli. Dari Stasiun Kereta Rangkasbitung, jaraknya tak jauh. Lokasinya berada di sisi timur Alun-alun Kota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Museum ini tercatat sebagai museum anti-kolonial pertama di Indonesia, sebuah penanda penting bahwa sejarah bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga cermin untuk menatap masa depan.

Bangunan museum yang menaunginya berdiri sejak 1923, menghadirkan nuansa arsitektur yang memadukan masa lalu dan masa kini. Dari kejauhan, tampak pendopo dengan suasana teduh dan asri. Tempat ini begitu ramah, kayaknya cukup menyenangkan untuk mengenalkan sejarah kepada anak-anak, tanpa harus terbebani kesan kaku seperti museum pada umumnya.

Memasuki area gedung, pengunjung akan mendapati tujuh ruangan yang disusun layaknya alur cerita. Setiap ruangan mewakili satu periode penting dalam sejarah kolonialisme hingga lahirnya gerakan kemerdekaan dari penjajah Belanda. Semua disajikan dengan pendekatan modern, menggunakan multimedia berupa podcast hingga video interaktif yang diputar di layar.

Koleksi yang dipamerkan pun beragam. Selain duplikasi benda bersejarah, terdapat artefak asli yang bernilai tinggi. Salah satunya adalah ubin dari rumah Asisten Residen Lebak Eduard Douwes Dekker yang pernah bertugas pada Januari hingga April 1856.

Lain itu, museum ini juga menyimpan sejumlah buku karya Multatuli, termasuk novel Max Havelaar dari berbagai bahasa, serta dua surat penting lainnya yakni surat Eduard Douwes Dekker kepada Raja Willem III serta surat Bung Karno kepada sahabatnya di Belanda, Samuel Koperberg.

Bukan hanya dokumen, museum juga menghadirkan visual sejarah lewat sederet foto yang merekam perjalanan Kabupaten Lebak dari masa ke masa.

Dan tak kalah menarik, berdiri pula patung Eduard Douwes Dekker alias Multatuli bersama tokoh fiksi yang abadi, Saijah dan Adinda, hasil karya pematung terkemuka Dolorosa Sinaga.

Jadi, jika kita mengunjungi Museum Multatuli bukan sekadar perjalanan melihat koleksi benda bersejarah. Lebih dari itu, di sini kita akan mendapat pengalaman menyelami jejak seorang penulis yang berani bersuara melawan penindasan, serta menyadari betapa relevan pesan moralnya hingga hari ini.

Oh, ya, dari rumah saya sendiri, museum ini berjarak sekitar 20 kilometer atau hanya sekitar 30 menit perjalanan berkendara. Dan belum lama ini saya bertandang ke sana. Tapi sayangnya, dokumentasi semua foto dan videonya hilang tanpa jejak di ponsel seluler anak saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun